Sejarah Singkat Fikih al-Azhar
Tujuan pertama didirikannya masjid al-Azhar pada 9 Ramadlan 361 H./972 M. semata-mata hanyalah sebagai simbol kekuasaan dinasti Fathimiyah di negeri Mesir.Â
Baru pada masa al-Aziz Billah (378 H.) berubah status disamping sebagai tempat peribadatan juga dipergunakan sebagai tempat pengkajian ilmu-ilmu Islam; khususnya pengembangan ilmu fikih madzhab Syi'ah. Penyebaran dakwah madzhab Syi'ah berakhir saat datangnya Shalahuddin al-Ayyubi tahun 567 H./1171 M. dengan madzhab Sunni mengambil alih kekuasaan.
Upaya Shalahuddin untuk mengganti pola keberagamaan masyarakat muslim Mesir kala itu benar-benar digalakkan secara menyeluruh hingga tidak ada ruang nafas lagi bagi para pengikut madzhab Syi'ah.Â
Diantara upaya Shalahuddin yang sangat kentara yaitu dengan mengangkat seorang Qadli (hakim) bernama Shadruddin Abdul Mulk al-Dariki dari madzhab Syafi'iyah.Â
Segala permasalahan yang berkenaan dengan kedaulatan negara, problematika kemasyarakatan dan keagamaan harus mengikuti madzhab fikih dari imam Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (wafat 204 H.). Diantara kebijakan fatwanya adalah mengharamkan pelaksanaan shalat Jum'at di masjid al-Azhar  (dibuka lagi pada masa Raja Bairus al-Bandaqadari thn. 658 H.).Â
Fatwa ini dilandaskan pada fikih Syafi'i yang menyebutkan tidak bolehnya mengumandangkan dua khotbah dalam satu wilayah. Dimana kala itu, juga dikumandangkan khotbah Jum'at di masjid pemerintah Ayubiyyah yang jaraknya berdekatan dengan masjid al-Azhar.
Dalam pengembangan sektor pendidikan, Shalahuddin lebih banyak membangun madrasah-madrasah dengan corak ajaran Sunni.Â
Terutama materi ilmu fikih yang diajarkan tak lain adalah fikih Syafi'i sebagai kurikulum tetap di Madrasah Nashiriyah (didirikan pada akhir kedaulatan Fathimiyah thn. 566 H.) dan di madrasah Shalahiyah (thn. 572 H.), fikih Maliki diajarkan di madrasah Qamuhiyah (thn. 566 H.).
Sedangkan fikih Hanafi di madrasah Suyufiyah (th. 572 H). Selanjutnya perbaikan kurikulum dilakukan dengan penambahan materi fikih Hambali di mulai sejak masa Sultan Najmuddin Ayyub.Â
Cikal bakal studi perbandingan madzhab mulai muncul, yakni dengan empat madzhab yang tergolong sebagai madzhab Sunni saja. Walaupun begitu, hal ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap wacana keberagamaan masyarakat muslim dengan masih diberlakukannya madzhab Syafi'i sebagai azas negara Mesir.