"Aku pesimis, Bu. Bagaimana dengan fisikku? Bahuku, nih." Â Aku sambil menunjukkan posisi nahuku yang tidak sejajar. Bahu kiriku lebih berada dibawah karena sering aku gunakan untuk mengangkut sayur
"Yasudah, kalau begitu kamu kuliah saja ya?" Tawar ayah padaku.
"Tapi kan biaya kuliah itu mahal, aku tidak mau memberatkan ayah."
"Ayahkan tidak diam, Akbar. Ayah setiap hari bekerja." Jawab ayah.
"Iya, Akbar tahu itu ayah. Tapi aku tidak mau ayah sampai kelelahan bekerja memikirkan biaya sekolahku yang begitu besarnya." Jelasku pada ayah.
"Akbar meragukan ayah?" Ayah terlihat nampak kecewa. Mata aku dan ayah saling bertemu. Aku segera menunduk.
"Ayah masih mau berusaha dan selalu berusaha untuk anak ayah, ayah tahu ayah hanya bekerja seperti ini, tapi ayah yakin sanggup biayai kamu, kamu yakin meragukan ayah?" Ayah mulai agak berkaca-kaca.Â
Menurutku, aku tidak ada maksudku yang meragukan ayahku. Tapi aku mengerti, orang tua memang terkadang sensitif perasaannya.
"Tapi ayah..." Belum selesai aku menjelaskan, Ibu yang sedari tadi diam saja berdiri akan menuju ke kamar.
"Mau kemana, Bu?" Tanya ayah cekatan.
"Kalian lanjutkan saja pembicaraannya, ibu sedang tidak enak badan, mungkin perlu istirahat sebentar." Tanpa menunggu jawaban ibu langsung berjalan menuju kamar. Aku tahu, ibu juga berat memikirkan ini.