Mohon tunggu...
Cerpen

Aku dan Keluargaku

3 Oktober 2016   21:29 Diperbarui: 3 Oktober 2016   21:42 3422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ingin yang terbaik - Koleksi Pribadi

Lelaki dan wanita itu adalah pahlawan dalam kehidupanku. Aku bisa bernapas, tumbuh dan berkembang seperti saat ini semua karena pengorbanannya.Tanpa beliau aku mungkin bukan siapa-siapa.Dia yang selalu memberikan kasih sayang dan selalu rela berkorban apapun demi kami. Mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhanku dan keluarga, banting tulang kesana kemari, itulah yang dikerjakan mereka. Dialah papa dan mama terhebat dan tercinta yang selama ini kami banggakan.

Aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Papa bekerja sebagai pegawai negeri. Sedangkan ibuku seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari mengurus keluarga,memenuhi kewajiban sebagai istri dan ibu bagi kami anak-anaknya. Aku terlahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara.Mempunyai 4 orang kakak (kakak pertama namanya Lina, kedua Darwin, ketiga Tiur dan yang keempat Dion) yang selalu menyayangi dan memberikan kasih hingga keceriaan dan heharmonisan ada dalam keluarga ini dan tentunya menambah warna dalam kehidupanku. 

Sejak kecil aku dibesarkan dengan kasih sayang dan segenap perhatian dari keluarga ku, khususnya kedua orang tuaku. Hidup dalam kesederhanaan yang mengutamakan agama dan pendidikan membuat aku selalu berpacu mengejar prestasi. Bukan untuk apa-apa, hanya keinginan melihat senyum mengembang dari bibir kedua orang tuaku dan mendengar kata “ ayah bangga karena kamu “, hanya itu. Kekuatan kasih memang mampu mengalahkan segalanya. Membuat orang tua bahagia adalah hal yang seharusnya menjadi cita-cita setiap anak. 

Tapi semenjak kami anak-anakya telah beranjak dewasa semuanya berubahh, berubah bangat. Berubah karena sikap yang dimiliki ego masing-masing setiap anggota keluarga, kak Lena telah menikah dan memiliki 3 anak , kak Darwin sekarang tinggal dan bekerja di kalimantan. Kak Luna puji Tuhan kuliahh, tapi sayangnya, semuanya berubah semenjak dia kuliah. Kehidupan keluargaku hancur Cuma karna dia, aku gak tau salah orang tuaku itu apa aku sama sekali enggak tau, banyak perkara yang keluargaku hadapi karna dia. 

Dia menghancurkan harapanku. dan itu membuat mama dan papaku harus sakit, dan dibalik itu kakakku yang ke empat yaitu kak Dion sering buat masalah sewaktu dia kuliah, cabut, merokok, dan lain nya. Aku sama sekali merasa jatuh bangat. Aku kasihan liat mama sama papa. Waktu itu aku masih SMA aku hanya bisa menangis meratapi kehidupan yang cuma secuil ini.

Drak... bunyi pintu kamarku yang kututup dengan membantingnya yang pasti dengan sangat keras. “Aauuhh...kenapa gak bisa jahat sekali aja sihh,” teriakku sebal yang diakhiri dengan menghempaskan tubuh ke ranjang tembat tidurku dan segera menutup wajah ku dengan bantal. Tak terasa mataku sudah mengeluarkan air bening di sudut-sudut kelopak mataku yang bertanda bahwa aku sudah tidak dapat menahan kesedihan ku. Yah, aku menangis, menangis karena malangnya hidupku, menangis karena tidak ada yang mengerti aku dan menangis atas nasib ini.

Pagi menjelang, sinar-sinar lembut matahari memancarkan sinarnya dari celah-celah jendela kamar, sukses membangunkanku dari sebuah mimpi. Aku selalu berharap semalam hanya mimpi, benar! hanya mimpi. Aku bangun dengan lemah dari ranjangku dan segera menyambar handuk untuk segera mandi. Berjalan di cermin ukuran besar yang ada dalam kamar. 

Disana aku bisa melihat dengan jelas mata sembab yang menggambarkan sejuta kesedihan dan kekecewaan. Melihat sosok dicermin itu aku hanya bisa tersenyum pahit. Ternyata ini bukan mimpi melainkan kenyataan yang harus aku hadapi. Setelah melihat diriku yang tak berguna ini, segera aku menuju kamar mandi yang terdapat dalam kamarku.

“Selesai...” Gumam ku setelah merapikan dasi sebagai sentuhan terakhir dan siap untuk berangkat kesekolah, berangkat ke SMA N.1 SIBORONGBORONG. Tanpa berkata apapun ataupun menyapa kedua orangtuaku. Aku langsung menyambar kunci motor di gantungan ruang tengah rumah dan segera melajukan motorku dengan sangat-sangat cepat tanpa sarapan dan pamit dulu pada dua orang yang selalu aku hormati dan aku sayangi. Tapi kini mereka membuat aku kecewa dan sangat kecewa. Kecewa karena kebaikan kedua orangtu ku terhadap kak Tiur kakak ketigaku.

Dalam perjalanan aku teringat pada kejadian malam tadi. Malam tersuram dalam hidupku. Ingin aku melarikan diri. Melarikan diri dari dunia ini dan melarikan diri dari semua kenyataan hidup ini. Tapi tetap saja aku tak bisa. Aku tidak memiliki tempat tujuan lain yang pantas untuk menampung anak putus asa seperti ku. Tetes demi tetes air bening ini mengalir dari mata sayupku hingga tak terasa aku sudah berada didepan gerbang sekolah.

Segera aku masuk dan berjalan lemah menuju kelas. Setelah sampai aku segera menyimpan tas dan merebahkan diri dibangku tempat duduk dan menelungkupkan wajahku di atas meja. Heran!! Itulah yang mungkin teman sebelah ku rasakan melihat tingkahku itu.

“Tika, kamu kenapa? Kamu gak apa-apa, kan?”

“ Tidak apa-apa” jawabku singkat.

“Benar, kamu gak apa-apa?”

“Iya,” jawab ku dengan menampakan wajah tersenyum pada sahabatku yang cerewet itu. Aku yakin jika tidak begitu ia akan selalu bertanya karena khawatir padaku.

“Apa kamu habis menangis?”

“Biasa.. Soal kakakku lagi. ”

“Oh. Sabar, ya?” ujar Putri sahabatku sambil menepuk-menepuk pundakku memberi dukungan.

Dan aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Begitulah sahabatku itu, ia tahu semua masalah-masalah yang aku hadapi selama ini karena aku memberitahukan semua perasaan-perasaanku. Putri adalah orang yang sangat penting bagiku bahkan kelewat penting. Ia sangat mengerti tentang perasaanku.

Selama pelajaran berlangsung aku sama sekali tidak fokus dengan apa yang dijelaskan oleh guru, terlebih pelajaran sekarang adalah matematika yang memang pada dasarnya sungguh membuat ku gila. Pikiranku malah ada ditempat dan dalam memori yang membuat ku lebih terpuruk lagi. Terngiang-ngiang dengan apa yang dikatakan kedua orangtuaku.

“ Tika, dia itu tetap kakak kamu. Bagaimanapun sakit yang sudah ditanamkannya di keluarga ini, dia tetap kakak kamu. Dia anak mama juga. Kalian satu darah nak,” ujar papa sedikit memohon.

“Iya Tika, kamu harus mengerti dengan keadaan ini, mama mohon.”

Tidak..tidak..teriakku sebagai jawaban atas apa yang mereka katakan malam itu.

Huuhhh, ku hembuskan nafasku dengan kasar mengingat itu.

“Tika kamu harus kuat, tidak ada yang harus ditangisi.” Lirihku menguatkan diri sendiri. Putri yang ada disebelahku hanya bisa menatap kearahku. Yah, dia cukup tahu permasalahan yang aku hadapi.

Kini aku berdiri didepan pintu rumahku, hanya menatap pintu itu dengan penuh keraguan. Apa aku harus langsung pulang setelah jam sekolah usai. Aku pun dengan ragu memutar kenop pintu dan segera masuk ke dalam rumah. Deg. Suara teriakan itu terdengar lagi, bukan!! selalu terdengar lebih tepatnya. Kata-kata makian apa pantas dikeluarkan dari mulut seorang Dokter, seorang yang terpelajar tidak dapat menahan egonya untuk sekadar menjernihkan keadaan. 

Dulu aku cukup bangga memiliki seorang kakak yang bekerja sebagai dokter, tapi kini keadaan telah berubah. Banyak hal yang membuatku sedih,kecewa bahkan membuat stres. Ingin aku lari dari kenyataan hidup ini tapi apa daya aku hanya seorang gadis 17 tahun yang lemah.

Segera kulangkahkan kaki menuju kamarku tapi aku berhenti didepan sebuah kamar yang berada tepat disebelah kamarku. Disana, di pintu kamar itu tergantung manis papan nama bertulis “ bedroom Luna, jangan masuk tanpa seizinku” lengkap dengan foto pose lucunya. Melihat hal itu aku merasa mual. Ingin aku memukul mukul wanita itu andai saja papa dan mama tidak membelanya aku pasti sudah membunuhnya.

**

Setelah lulus SMA akupun mengikuti bimbel di salah satu bimbingan belajar selama sebulan di Setia Budi. Aku disana tinggal dirumah guruku waktu SMA karena waktu itu aku berteman baik dengan anaknya yang bernama Putri.

Tok tok tok… suara pintu terdengar.

“Sepertinya ada tamu,” gumamku sembari berjalan ke arah pintu.

Suara pintu tiba-tiba terbuka sebelum aku membukanya. Sontak aku terkejut dan hampir saja jantungku hilang entah kemana. Dan ternyata yang datang itu adalah ayahnya Putri.

“Eh, oom. Kok tumben oom datang pas jam kerja? Ada apa om?” tanyaku penuh rasa khawatir.

Dan tiba tiba om langsung menyalamku dan menyalam Putri yang dari tadi sedang sibuk mencuci piring.

“Pa. Kok papa datang tiba-tiba sih, pa? Kok papa gak bilang-bilang kalau mau datang? Biasanya kan papa memberitahu lebih dulu, “ tanya Putri yang ikut khawatir atas kedatangan papanya dengan tiba-tiba.

“Papa senang, papa bangga sama kalian berdua. Kalian hebat,” kata om sembari memberikan amplop kuning yang sedang dipegangnya.

“Ini apa, om?” kataku penuh tanya dan membuatku semakin bingung. Dan Putri pun ikut kebingungan.

“Buka sayang, buka. Biar lebih jelas” katanya meyakinkan aku dan Putri.

Tanpa berpikir panjang kubuka amplop kuning itu dan ternyata…

“Putri, Om. Aku lulus. Aku lulus, yesss!!!“ teriakku sambil tertawa lepas. Tanpa aku sadari ternyata air mata yang dulu sering mengalir kini mengalir kembali. Tapi beda dengan yang dulu, kali ini mengalir karena kebahagiaan. Bukan yang lain.

“Yess!!! Aku juga lulus,” kata Putri histeris sambil memeluk papanya.

Aku diterima di IPB (Institut Pertanian Bogor) dan Putri keterima di Polmed (Politeknik Negeri Medan).

Keesokan harinya tepat pukul 04:00 dini hari aku bangun dan segera beres-beres. Karena aku ingin sekali pulang dan ngasih kabar gembira ini kepada kedua orangtuaku.

Drakk bunyi lemari membuat Putri terbangun dari tidurnya.

“Tika lagi ngapain?” Dengan mata setengah sadar.

“Ini lagi beres-beres Put, nanti aku mau pulang kerumah nih, gak sabar ngasih tau papa sama mama aku.” Kataku dengan senyum lebar.

Tiba-tiba putri memelukku sambil menangis tanpa henti.

“Put,, kamu kenapa?“ Tanyaku kebingungan.

Putri hanya menggeleng kepalanya namun tetap menangis, hingga membuatku semakin panik.

“Putri,, kamu kenapa? Kamu ada masalah?” Tanyaku kembali.

“Aku gak apa-apa Tik.”

“Tapi kamu kok nangis?”

“Aku cuman takut, “

“Takut kenapa sih Put?” Tanyaku yang semakin membuatku bingung.

“Aku takut nanti kalau kamu uda berangkat ke Jakarta kamu lupa samaku. Kamu pasti bakalan menemukan teman baru kamu disana.” Kata Putri sambil menangis.

“tenang aja put, biarpun aku kuliah di jakarta dan kamu di medan, kamu tetap sahabatku satu-satunya kok. Gak ada yang lain.” Kataku meyakinkan Putri.

Akhirnya kami pun berpelukan sambil menangis. Waktu terus berjalan dan tak terasa bahwa jam telah menunjukkan pukul 08:00 wib. Aku pun pamit sama Putri dan Om.

Setibanya dirumaah, aku pun langsung berlari keruang tamu dan mendapati mama sama papa yang sedang asik nonton Comedy di Televisi.

“Tika, kok kamu pulang nak?” Kata papa terkejut.

“Pah, mah, Tika keterima….”

“Keterima apa sayang? Kok kliatannya senang banget.” Kata mama dengan muka yang penuh Tanya.

“Tika keterima di IPB mah pahh, Tika bakalan kuliah di Jawa. “ Sambil menyerahkan amplop kuning itu ke tangan papa.

Setelah membukanya papa sama mama langsung memelukku dan tersenyum bahagia. Baru kali ini aku bisa melihat papa sama mama bisa sebahagia itu. Dan mulai dari situ aku berusaha bangat buat terus bahagiain orangtuaku. Aku sering sakit hati karna celotehan orang-orang terhadap keluargaku. Aku berharap bisa membayar kesedihan orang tuaku yang selama ini di derita. Aku ingin memperlihatkan ke orang-orang bahwa keluargaku juga bisa tertawa, tertawa melihat anaknya sukses.

****

-end-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun