“Tika, kamu kenapa? Kamu gak apa-apa, kan?”
“ Tidak apa-apa” jawabku singkat.
“Benar, kamu gak apa-apa?”
“Iya,” jawab ku dengan menampakan wajah tersenyum pada sahabatku yang cerewet itu. Aku yakin jika tidak begitu ia akan selalu bertanya karena khawatir padaku.
“Apa kamu habis menangis?”
“Biasa.. Soal kakakku lagi. ”
“Oh. Sabar, ya?” ujar Putri sahabatku sambil menepuk-menepuk pundakku memberi dukungan.
Dan aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Begitulah sahabatku itu, ia tahu semua masalah-masalah yang aku hadapi selama ini karena aku memberitahukan semua perasaan-perasaanku. Putri adalah orang yang sangat penting bagiku bahkan kelewat penting. Ia sangat mengerti tentang perasaanku.
Selama pelajaran berlangsung aku sama sekali tidak fokus dengan apa yang dijelaskan oleh guru, terlebih pelajaran sekarang adalah matematika yang memang pada dasarnya sungguh membuat ku gila. Pikiranku malah ada ditempat dan dalam memori yang membuat ku lebih terpuruk lagi. Terngiang-ngiang dengan apa yang dikatakan kedua orangtuaku.
“ Tika, dia itu tetap kakak kamu. Bagaimanapun sakit yang sudah ditanamkannya di keluarga ini, dia tetap kakak kamu. Dia anak mama juga. Kalian satu darah nak,” ujar papa sedikit memohon.
“Iya Tika, kamu harus mengerti dengan keadaan ini, mama mohon.”