Mohon tunggu...
Sarjiput Winataaa
Sarjiput Winataaa Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Lepas

I am a writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Tema Ayah || Apa yang Ada dalam Benak Tentang Ayah?

3 Mei 2023   01:43 Diperbarui: 3 Mei 2023   01:48 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis

Ayah, satu nama yang sangat berperan penting dalam kehidupanku. Selain nama Ibu yang terucap tiga kali banyaknya, nama Ayah pun tak lupa terucap setelahnya.

 

Kehebatan seorang Ibu, memang sudah tidak diragukan lagi. Ibu mengandung sembilan bulan lamanya, kemudian melahirkan kita ke dunia yang fana ini. Sungguh sangat mulia. Tanpanya, kita tidak akan terlahir di dunia ini.

 

Ibu memiliki tiga kodrat. Hamil, melahirkan, dan menyusui. Kita tidak boleh menyakitinya, karena di telapak kakinya terdapat surga kita.

 

Namun, surga Ibu tetaplah pada Ayah. Tanpa Ayah, aku tidak akan ada di dunia ini. Keduanya memiliki peran yang sangat penting bagiku, sehingga aku tidak bisa melupakan jasa mereka.

 

Terlahir dari seorang Ayah yang memiliki keterbatasan finansial, aku sangatlah beruntung karena Tuhan sudah memilihku sebagai orang yang kuat menerima takdir yang diberikan.

 

Ayah pernah mengatakan, "Walaupun kita kekurangan, jangan pernah meminta dan mengemis, apalagi sampai gelap mata dan panjang tangan dengan apa yang bukanlah hak kita. Berlian memang menyilaukan, tetap teguhkan pendirianmu dan nikmati saja skenario Tuhan untuk keluarga kita."

 

Perkataan itu yang sampai kini kupegang teguh, karena pendidikan Ayah yang keras dan tegas.

 

Kendati demikian, aku berusaha untuk tidak melanggar dari apa yang sudah Ayahku perintahkan padaku. Sebagaimana kita tahu, orang tua adalah kunci surga  untuk kita.

 

Ayahku adalah pekerja honorer di sebuah sekolah swasta di sebuah daerah. Gajinya hanya sekitar 700.000 per bulannya. Belum lagi potongan cicilan dan lain sebagainya, membuatnya tidak bisa memberikan nafkah yang utuh bagi keluarganya. Karena hal itu juga, Ibuku sampai harus bekerja membantu perekonomian keluargaku.

 

Aku yang masih labil kala itu berpikir, "Kenapa Ibu mau menikah dengan Ayah yang serba kekurangan? Padahal mungkin di luar sana, banyak sekali lelaki yang menginginkan Ibu, untuk menjadikannya sebagai istrinya."

 

Namun aku segera tersadar. Jika mereka tidak mengikat pernikahan bersama, tidak akan terlahir diriku di dunia ini. 

 

Itu adalah satu hal yang perlu aku syukuri.

 

Walau demikian, aku yang kala itu masih labil pun, merasa Ayah tidak adil denganku.

 

Aku terlahir sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Seorang gadis sulung, yang memiliki tiga orang adik. Ah, pastinya kedua orang tuaku lebih memprioritaskan kebutuhan ketiga adikku. Sejauh yang aku amati, mereka selalu membedakan cara memberikan perhatian dan juga pendidikan mereka padaku dan juga ketiga adikku.

 

Ayahku selalu menekankan nilai akademik yang sempurna untukku. Berbeda dengan ketiga adikku. Ayah hanya meminta mereka belajar, dan menimba ilmu agama lebih dalam. Ayah tidak mengizinkan aku untuk menimba ilmu agama, seperti ketiga adikku yang adalah jebolan dari salah satu pondok pesantren yang cukup bagus di wilayah tempatku tinggal.

 

Setiap harinya Ayah memintaku untuk membaca dan menghafalkan perkalian. Gadis kecil berusia 4 tahun, dipaksa harus bisa membaca buku pelajaran Kewirausahaan setingkat SMK. Tidak ada yang bisa melakukannya, hanya aku.

 

Ayah dan Ibu pergi bekerja pukul 6 pagi, meninggalkan aku yang masih berusia 4 tahun sendirian di rumah. Aku tidak manja, aku lekas mandi, memakai pakaian sekolah sendiri, kemudian berangkat ke Taman Kanak-kanak seorang diri, tanpa sarapan dan juga uang saku seperti kebanyakan anak lainnya.

 

Sepulang sekolah, aku diajarkan membaca buku tersebut sampai Ayah dan Ibu pulang dari mengajar. 

 

Ya, mereka sama-sama berprofesi sebagai guru. Jadi, mereka menekankan padaku agar aku bisa menguasai ilmu yang tidak dikuasai anak seusia 4 tahun pada umumnya. 

 

Setelah mereka pulang ke rumah, Ayah memintaku untuk membaca perkalian 1 sampai 10, sebanyak 5 kali balik setiap 3 kali dalam sehari.

 

Aku yang masih berusia 4 tahun bisa apa? Hanya bisa menurut dengan apa yang Ayahku inginkan.

 

Semua yang Ayahku perintahkan ternyata membuahkan hasil. Di usiaku yang baru 4 tahun, aku mampu mendapatkan peringkat pertama berturut-turut selama dua semester, di Taman Kanak-kanak. Sungguh hasil yang memuaskan bagiku.

 

Ayah memelukku erat, bahkan terlihat meneteskan air matanya di hadapanku. Setelahnya ia tidak berbicara apa pun, lalu segera pergi dari hadapanku.

 

Seharusnya Ayah yang lain mungkin akan mengucapkan kata-kata selamat dan berbangga diri, karena sudah memiliki anak sepertiku, yang terlampau brilliant.

 

Berbeda dengan Ayahku.

 

Namun, seiring waktu berjalan, aku mengetahui dan menyadari bahwa Ayahku pastinya bangga memiliki anak sepertiku. Sarah kecil pada waktu itu memang tidak mengerti, tetapi sekarang aku paham tentang didikan Ayah yang sangat keras dan tegas.

 

Sampai memasuki tingkat Sekolah Menengah Atas, aku didaftarkan Ayahku untuk masuk ke sekolah swasta tempat ia mengajar. Hal itu membuatku memberontak, karena aku tidak ingin menyiakan hasil NIM-ku yang cukup bagus kala itu.

 

Saat peralihan SD ke SMP, aku sudah merelakan mimpiku untuk masuk ke sekolah favoritku. Padahal, NIM-ku sudah lebih dari cukup untuk mendaftar di sana. Namun, Ayahku menyuruhku untuk mendaftar di sekolah yang dekat dari rumah. Alasannya karena beliau tidak perlu repot mengantarkan dan memberikan uang saku terlalu banyak padaku.

 

Setelahnya terulang kembali. Padahal aku sudah mengambil formulir di SMAN favoritku dan ingin sekali mengambil jurusan IPA. Namun, Ayah malah mendaftarkanku di sekolah SMK swasta tempat ia bekerja. Alhasil, aku hanya bisa menurut dengan apa yang Ayahku katakan.

 

Pada saat tes masuk kejuruan, ada 30 soal tes yang diberikan. Dari seluruh siswa yang mengikuti tes, hanya aku yang mendapatkan nilai sempurna dan hanya salah 1 soal saja. Aku bisa mengambil jurusan Multimedia, sebagai jurusan terfavorit di sekolah itu. Aku hanya gengsi saja memilihnya, padahal aku tidak berniat untuk memilih jurusan tersebut. Mengingat dua jurusan lain yang aku anggap lebih rendah daripada jurusan ini.

 

Karena keterbatasan ekonomi, Ayah tidak pernah sama sekali memberikan aku uang saku. Di sekolah itu ada pelajaran tambahan mulok, yang mengharuskanku untuk datang dari pagi sampai sore mengikuti pelajaran inti. Ayahku mulai bekerja dari pukul 1 siang, sehingga membuatku harus datang sendiri ke sekolah sejak pagi hari. 

 

Ayah tidak mengantarkanku karena alasan yang tidak jelas, dan tidak memberikanku uang saku untuk naik angkutan umum. Setiap hari aku berjalan kaki, sebelumnya menumpang motor pada adikku yang masih SMP.

 

Ayah memberikan adikku motor, sementara aku tidak. Aku tidak diantar ke sekolah, sementara aku tidak diberikan uang saku untuk naik angkutan umum.

 

Tiga tahun aku jalani seperti itu, dengan mencoba berbagai macam pekerjaan sampingan. Dari mulai menjaga toko baju, sampai berjualan bakpao di sekolah.

 

Karena tidak bisa setiap hari datang ke sekolah karena keterbatasan biaya, semua guru membuat nilaiku merosot karena absensi yang terlalu banyak. Padahal, jika aku fokus belajar dan terus masuk, aku pasti akan dapat juara 1 terus-menerus selama tiga tahun itu.

 

Karena kejeniusanku, aku dipilih pihak sekolah untuk mengikuti lomba cerdas cermat antar sekolah. Sekolahku menang juara 3, dan aku bersyukur karena itu semua karena didikan Ayah yang keras mengenai pendidikan.

 

Kendati demikian, ada hal yang membuatku sangat bangga terhadap Ayahku. Ayah pernah mengatakan, "Kalau kamu lapar, tinggal bilang saja, ya. Ayah mintakan gorengan ke Ibu kantin. Minumnya minta di ruang guru saja."

 

Hatiku terenyuh.

 

Apalagi Ayah selalu membawakanku makanan kecil, ketika aku sedang bermain bersama dengan teman-temanku. Aku menerimanya dengan senang hati, karena aku yakin Ayah sangatlah malu ketika meminta pada Ibu kantin terus-menerus.

 

Sampai akhirnya terdengar celetukan yang membuat aku sakit hati. "Untuk apa kuliah? Bapak lo tuh miskin, gak mungkin bisa kuliahin lo!"

 

Perkataan itu terucap dari seorang Kepala Sekolah di tempat aku bersekolah, ketika aku sedang meminta surat rekomendasi untuk mengikuti SMPTN. Karena Kepsek yang tidak memberikan surat rekomendasi, aku sampai terlambat mengikuti seleksinya.

 

Kenyataan membangunkanku. Saat UAS, Ayahku belum melunasi tunggakan, sehingga aku tidak bisa mendapatkan kartu ujianku. Namun, dengan wajah yang sumringah, Ayah datang membawakanku kartu ujian, di saat-saat terakhir menjelang ujian berlangsung.

 

Betapa bahagianya aku, karena aku menyadari walaupun Ayah tidak bisa untuk memenuhi semua keperluanku, setidaknya Ayah memiliki usaha untuk membuatku setara seperti lainnya.

 

Walaupun Ijazah SMK-ku belum tertebus, aku kini sudah lulus S1 Teknik Informatika, dengan uang hasil jerih payah sendiri. 

 

Yang membuatku bangga, Ayah berdiri berfoto merangkulku saat proses wisuda berlangsung. Ia berbisik lirih, "Soal Ijazah SMK yang belum tertebus, biar Ayah yang menebusnya pelan-pelan. Karena itu tanggung jawab Ayah sebagai orang tua kamu. Jangan pikirkan, biar Ayah sendiri yang mencari caranya agar bisa menebus Ijazah kamu."

 

Setidaknya, aku memiliki Ayah yang rela mengorbankan apa pun untukku.

 

Ini bukan tentang uang, tetapi tentang pendidikan.

Biodata Penulis:

Sarah Jihan, sangat kagum dipanggil dengan nama pena sarjiputwinataaa. Lahir 23 tahun lalu tepat tanggal 02 Februari di kota Jakarta. Si melankolis yang kadang sanguinis | Punya hobi menggambar absurd, menulis cerbung dan diskusi (lebih tepatnya sih curhat), bercita-cita jadi motivator cikal bakal anak bangsa | Saat ini menyandang predikat S1 jurusan Teknik Informatika di salah satu Universitas swasta di Tangerang, yang kepingin melanjutkan kuliah pascasarjana | Si malas yang berkutat di banyak organisasi dan cinta mati membaca buku bergambar | Si cuek yang menyukai hal romantis | Si langit  yang mewadahi bintang | Si gagah yang kadang rapuh | Si nekat yang tidak takut sendirian | Si kantong tipis yang hobi traveling | Jejaknya bisa dilacak melalui akun instagram @sarjiputwinataaa . Kicauannya kadang terselip di akun facebook Sarah Jihan. Thanks!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun