Ayah memelukku erat, bahkan terlihat meneteskan air matanya di hadapanku. Setelahnya ia tidak berbicara apa pun, lalu segera pergi dari hadapanku.
Â
Seharusnya Ayah yang lain mungkin akan mengucapkan kata-kata selamat dan berbangga diri, karena sudah memiliki anak sepertiku, yang terlampau brilliant.
Â
Berbeda dengan Ayahku.
Â
Namun, seiring waktu berjalan, aku mengetahui dan menyadari bahwa Ayahku pastinya bangga memiliki anak sepertiku. Sarah kecil pada waktu itu memang tidak mengerti, tetapi sekarang aku paham tentang didikan Ayah yang sangat keras dan tegas.
Â
Sampai memasuki tingkat Sekolah Menengah Atas, aku didaftarkan Ayahku untuk masuk ke sekolah swasta tempat ia mengajar. Hal itu membuatku memberontak, karena aku tidak ingin menyiakan hasil NIM-ku yang cukup bagus kala itu.
Â
Saat peralihan SD ke SMP, aku sudah merelakan mimpiku untuk masuk ke sekolah favoritku. Padahal, NIM-ku sudah lebih dari cukup untuk mendaftar di sana. Namun, Ayahku menyuruhku untuk mendaftar di sekolah yang dekat dari rumah. Alasannya karena beliau tidak perlu repot mengantarkan dan memberikan uang saku terlalu banyak padaku.