Itu adalah satu hal yang perlu aku syukuri.
Â
Walau demikian, aku yang kala itu masih labil pun, merasa Ayah tidak adil denganku.
Â
Aku terlahir sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Seorang gadis sulung, yang memiliki tiga orang adik. Ah, pastinya kedua orang tuaku lebih memprioritaskan kebutuhan ketiga adikku. Sejauh yang aku amati, mereka selalu membedakan cara memberikan perhatian dan juga pendidikan mereka padaku dan juga ketiga adikku.
Â
Ayahku selalu menekankan nilai akademik yang sempurna untukku. Berbeda dengan ketiga adikku. Ayah hanya meminta mereka belajar, dan menimba ilmu agama lebih dalam. Ayah tidak mengizinkan aku untuk menimba ilmu agama, seperti ketiga adikku yang adalah jebolan dari salah satu pondok pesantren yang cukup bagus di wilayah tempatku tinggal.
Â
Setiap harinya Ayah memintaku untuk membaca dan menghafalkan perkalian. Gadis kecil berusia 4 tahun, dipaksa harus bisa membaca buku pelajaran Kewirausahaan setingkat SMK. Tidak ada yang bisa melakukannya, hanya aku.
Â
Ayah dan Ibu pergi bekerja pukul 6 pagi, meninggalkan aku yang masih berusia 4 tahun sendirian di rumah. Aku tidak manja, aku lekas mandi, memakai pakaian sekolah sendiri, kemudian berangkat ke Taman Kanak-kanak seorang diri, tanpa sarapan dan juga uang saku seperti kebanyakan anak lainnya.