"Bahkan manusia bisa saja berbuat jahat padaku. Tapi Kamu justru menolongku. Aku ingin tahu namamu."
"Nama?" Aku menatap wajahnya. Dia mengangguk.
"Ah ... ya. Kau bisa memanggilku Naga," kataku.
"Naga? Sinaga? Kamu punya marga?" katanya dengan ekspresi lucu.
"Bukan. Itu hanya panggilan mereka padaku." Aku mematahkan ranting-ranting pohon yang menghalangi pandangan. Matahari mulai bergerak ke sisi Barat. Beruntung pantulan cahayanya terbias oleh bulan yang hampir separuh. Cukup untuk membantu menuntun jalan gadis di belakangku.
Tanganku bergerak menahannya. Aku mengarahkan jari telunjuk ke bibir.
"Ada suara. Dekat dari sini. Kurasa mereka orang-orang yang mencarimu," kataku.
"Kamu bisa pergi kalau begitu," katanya.
"Ya. Aku rasa cukup sampai di sini. Kamu bisa mengikuti arah jejak kaki raksasa ini untuk menuju gerbang. Mereka di sana, dan semakin dekat. Aku bisa merasakan getarannya." Aku mulai berada di posisi kuda-kuda.
"Terima kasih, Naga. Aku enggak akan lupakan Kamu," katanya sebelum berlalu.
"Jangan membuat tempat tinggal di dekat hutan. Hutan adalah rumah kami, tempat makhluk seperti kami dan hewan lain tinggal. Kalian adalah manusia yang bisa menjaga dan melestarikan dunia ini. Jadi, jangan buat kami menangis karena kehilangan tempat tinggal." Aku berteriak. Dia menoleh sesaat dan mengangguk.