Kakinya yang kecil melangkah ragu-ragu di antara dedaunan kering. Dia melihat sekeliling, memandang ke atas, dimana burung Cabak mulai bergerombol di atas pepohonan. Suaranya yang khas menjadi pertanda malam akan segera datang menggantikan siang.
Tangannya menyibak ranting-ranting pohon dan perdu yang menutupi pandangannya. Pelan, dia berjalan menyusuri jejak kaki di atas tanah basah.
"Tolong ....!!" suaranya merambat di antara pepohonan.
Gadis yang malang. Sepertinya dia tertinggal dari rombongan.
Kakinya terus melangkah menyusuri rerumputan yang rebah. Jejak kaki raksasa tercetak di tanah berair di sekitarnya.
"Tolong ....! Siapapun, tolong aku ...!" Teriakannya terdengar memilukan.
Kakinya mulai berlari menyusuri lebatnya pepohonan. Di persimpangan dia terhenti, tetapi gerakan kakinya mengundang makhluk lain mendekat. Dengan sekali gerakan, makhluk melata itu menunjukkan diri di depannya, berhasil meninggalkan luka di kakinya.
Aku dengan segera mendekat di antara kedua makhluk berbeda jenis itu. Aku mendesis tepat di depan makhluk serupa denganku itu. Dia kemudian berbalik mundur. Sedangkan gadis itu terbelalak dan bergerak mundur dengan kedua kakinya.
Sepertinya dia takut. Aku tertawa tetapi melihat dia semakin menjauh dan berusaha berdiri meskipun tidak membuahkan hasil membuat sebagian diriku iba. Aku berbalik arah sebelum memunculkan kaki di kedua tungkai bawah. Bagian ekorku mulai menyusut begitupun dengan kepingan sisik emas bercorak hitam yang hanya tersisa di beberapa bagian.
"Jangan takut, Gadis Manis," kataku dengan suara lembut.
"Kamu siapa? Kamu ... Kamu ... Ular?" Dia berusaha menjauh. Aku menyeringai, tanganku meraih sebelah kakinya yang terluka.
"Aw! Sakit!" Dia memegangi tanganku, berusaha menepisnya.
"Aku tidak akan menyakitimu, Gadis Manis." Karena penglihatanku yang buruk, aku hanya meraba dua titik biru di dekat tumitnya. Dia kembali berteriak.
"Jangan khawatir. Air liurku bisa menetralisir bisa dari ular yang melukaimu tadi, Gadis Manis." Aku mengubah posisi menjadi duduk, tepat di sampingnya. Aku bisa melihat suhu tubuhnya memanas karena jantungnya memompa darah terlalu cepat.
"Kau tersesat di sini, Gadis Manis?" tanyaku.
Gadis itu mengangguk sebagai jawaban.
"Kalian rombongan mahasiswa pecinta alam yang akan berkemah, bukan?" Aku kembali bertanya untuk memastikan.
"Benar. Kenapa Kamu bisa tahu?" dia memandangku heran.
Aku mengulurkan tangan ke arahnya. "Ayo, aku akan menunjukkan jalan pulang." Kalimatku membuatnya meraih tanganku. Dengan kaki terpincang-pincang dia mengimbangi langkahku. Sesekali dia memandang wajahku.
"Aku tidak percaya bisa bertemu dengan seseorang sepertimu," katanya.
"Aku adalah mitos yang dipercaya. Tapi aku adalah makhluk hidup di dunia ini. Aku bukan malaikat," kataku memberi penjelasan.
"Aku masih belum mengerti. Kamu ... Kamu jin?" Aku tertawa mendengar kalimatnya.
"Benar. Kami bisa melihat manusia sepertimu, tapi kalian tidak akan bisa melihat wujud kami," kataku.
"Aku takut. Beneran." Dia kembali berusaha menjauh sebelum aku meraih tangannya mendekat. Rasanya hangat.
"Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu," aku kembali meyakinkannya.
Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar, aku menduga karena takut. Suhu tubuhnya kembali naik. Dia memiliki gelombang panas yang sama dengan Neena. Kekasihku yang telah berpaling ke lain jiwa.
Burung-burung Cabak kembali bergerombol. Kali ini mereka terbang lebih rendah. Aku melihatnya mendongak. Langit mulai gelap.
"Ikuti saja aku. Kau akan menemukan pintu masuk di dekat desa. Aku yakin teman-temanmu juga memanggil penduduk desa untuk meminta pertolongan," kataku.
Gadis itu hanya menggumam. Dia terlihat lebih takut dari sebelumnya. Padahal aku yakin jika rupaku kali ini adalah lelaki tampan. Mungkin di dunia manusia, aku mirip aktor drama yang mereka puja-puja.
Aku menjentikkan jari. Mahkota bunga berada di tanganku. Langkahku berhenti, membuat gadis itu turut menghentikan langkah.
"Aku tidak akan menyakitimu," kataku sambil  meletakkan mahkota bunga di kepalanya.
"Kenapa Kamu menolongku?" Dia menanyakan pertanyaan aneh.
"Kasihan, mungkin. Ya, itu bahasa yang digunakan manusia sepertimu."
"Bahkan manusia bisa saja berbuat jahat padaku. Tapi Kamu justru menolongku. Aku ingin tahu namamu."
"Nama?" Aku menatap wajahnya. Dia mengangguk.
"Ah ... ya. Kau bisa memanggilku Naga," kataku.
"Naga? Sinaga? Kamu punya marga?" katanya dengan ekspresi lucu.
"Bukan. Itu hanya panggilan mereka padaku." Aku mematahkan ranting-ranting pohon yang menghalangi pandangan. Matahari mulai bergerak ke sisi Barat. Beruntung pantulan cahayanya terbias oleh bulan yang hampir separuh. Cukup untuk membantu menuntun jalan gadis di belakangku.
Tanganku bergerak menahannya. Aku mengarahkan jari telunjuk ke bibir.
"Ada suara. Dekat dari sini. Kurasa mereka orang-orang yang mencarimu," kataku.
"Kamu bisa pergi kalau begitu," katanya.
"Ya. Aku rasa cukup sampai di sini. Kamu bisa mengikuti arah jejak kaki raksasa ini untuk menuju gerbang. Mereka di sana, dan semakin dekat. Aku bisa merasakan getarannya." Aku mulai berada di posisi kuda-kuda.
"Terima kasih, Naga. Aku enggak akan lupakan Kamu," katanya sebelum berlalu.
"Jangan membuat tempat tinggal di dekat hutan. Hutan adalah rumah kami, tempat makhluk seperti kami dan hewan lain tinggal. Kalian adalah manusia yang bisa menjaga dan melestarikan dunia ini. Jadi, jangan buat kami menangis karena kehilangan tempat tinggal." Aku berteriak. Dia menoleh sesaat dan mengangguk.
Kulihat punggungnya semakin menjauh. Getaran-getaran dari mereka semakin dekat. Aku harus segera kembali ke hutan sebelum mereka menyadari kehadiranku.
Tepat saat bulan penuh, gadis itu akan dengan senang hati memenuhi panggilanku.
"Terima kasih, Gadis Manis. Kau akan menjadi umpan yang sangat lezat. Hahaha ..." kataku sebelum menghilang di antara dedaunan.
#MY, 280423
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H