Ketika aku berjalan dengan menatap punggungnya, ingatanku membenak teman semasa kecilku, Jeje dan Sansan. Dia mengulurkan tangan ke arahku ketika aku kesulitan melangkah di jalan menanjak yang berbatu.
"Kamu mirip temanku," kataku sambil tertawa.
Dia hanya tersenyum. Ketika langkah kaki kami terhenti di rumahnya, dia mengajakku bermain tenis meja. Aku yang payah dalam olahraga hanya terkekeh ketika dia berkali-kali mencetak angka.
"Udah deh, Mas. Aku kalah terus," kataku.
Aku sengaja memanggilnya Mas karena usianya satu tahun di atas usiaku.
"Kita ke pancuran aja yuk, nanti baru aku antar ke rumah Mbah," katanya.
"Boleh deh."
***
Aku merendam kaki di bawah air yang mengalir melalui bambu yang difungsikan sebagai selang itu. Ryan tak banyak bicara, hanya tersenyum. Aku tidak bisa mengerti arti senyum remaja lelaki empat belas tahun itu hingga dia mengantarkan aku kembali ke rumah Mbah Putri sebelum azan zuhur berkumandang. Dia bahkan mencium tangan Ayah, Ibu dan Mas Hasan bergantian sebelum pamit pulang.
"Habis ke mana aja sama cowok itu?" Mas Hasan menatapku.
"Dia ngajak aku ke rumahnya sama ke rumah temennya. Kita main tenis meja di rumahnya terus main di pancuran air. Udah," kataku.