Idulfitri di Rumah Mbah Putri (bagian 2)
Mbah Putri tergopoh menuju pintu ketika Ayah mengucap salam. Jendela nako dengan hordeng bangau berwarna merah, lantai tanah dan udara sejuk tanpa pendingin ruangan turut menyambut kedatangan aku, Mas Hasan serta Ayah dan Ibu.
Mbah Putri mengajakku menuju kamar di bagian belakang, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, turut mengalirkan sejuk ke seluruh bagian rumah. Aku senang mendapat kamar untuk tempatku tidur malam ini. Sedangkan Mas Hasan, Ayah, dan Ibu berada di kamar terpisah.
Ketika aku meminta Mbah Putri membuka pintu belakang, tampak sawah menghijau tersusun rapi.
"Jangan melamun ya," pesan Mbah Putri sebelum kembali ke depan.
Aku mengangguk lalu melangkah tanpa alas kaki ke arah bunga matahari di halaman belakang. Ketika tanganku hendak memetik bunga itu, tangan seseorang menepuk bahuku.
Aku terlonjak hingga terdorong beberapa langkah sebelum tersenyum ke arah anak perempuan yang tingginya hampir sama denganku.
"Kamu siapa?" tanyanya.
"Aku Hana. Kamu siapa?" aku balik bertanya.
"Aku Mila," katanya.
Kami saling berjabat tangan. Mataku terbelalak ketika menyentuh tangannya yang dingin.
"Hana, makan dulu yuk ...!" Terdengar suara Ibu dari dalam.
"Iya, Bu ..." Aku mengisyaratkan kepada Mila untuk menunggu sebentar selagi aku melangkah ke dalam rumah.
"Kamu ngobrol sama siapa, Nak?" tanya Ibu.
"Temen baru, Bu." Aku menarik lengan Ibu untuk melihat teman baruku.
"Loh, kok udah nggak ada? Dia pulang kayaknya Bu," kataku ketika tak lagi melihat Mila di halaman belakang.
"Ya sudah, yuk kita makan dulu," kata Ibu.
Aku mengikuti langkahnya menuju meja makan. Mbah Putri, Ayah dan Mas Hasan sudah duduk di kursi masing-masing.
Mbah Putri mengisahkan tentang masa kecil Ayah. Berkali-kali aku dan Mas Hasan tertawa karena kelakuan Ayah semasa kecil. Sedangkan Ibu hanya tersenyum, tetapi wajahnya seolah mengatakan 'ini bagian yang aku tunggu'.
Ketika matahari hampir berpindah sempurna ke sisi Barat, seorang lelaki rambutnya mulai terlihat memutih datang bersama lelaki yang usianya tak berbeda jauh dari Mas Hasan. Lelaki itu disebut Ayah sebagai Pakde Imam. Sedangkan lelaki remaja yang bersamanya adalah Ryan.
Jari tangannya yang kurus terulur ke arahku. Aku menjabat tangannya sesaat.
"Ryan," katanya.
"Hana," sahutku sambil tersenyum.
Kami melewati malam itu dengan cerita masa kecil Ayah dengan Pakde Imam. Mbah Putri bercerita bagaimana Pakde telah banyak membantu Ayah untuk terus semangat sekolah hingga menamatkan pendidikan Sekolah Dasar.
***
Keesokan harinya anak Pakde Imam telah mengetuk pintu rumah Mbah Putri ketika embun masih menempel di dedaunan. Ibu yang membukakan pintu untuknya. Mas Hasan menatapku dengan tanda tanya, sedangkan aku tak bisa memberikan jawaban apapun untuk kedatangannya.
"Maaf, Lik, aku mau ajak Dik Hana keliling kampung, boleh?" katanya pada Ayah.
Mas Hasan mendelik ke arahku. Aku hanya menggelengkan kepala, tak mengerti maksud dari anak Pakde Imam.
Ayah menatapku sebelum menjawab, "boleh, tapi tolong jagain Hana, ya. Antarkan dia pulang sebelum zuhur. Hana masih kecil."
Kalimat masih kecil membuatku tertawa. Aku yang sudah tiga belas tahun ini masih anak-anak di mata Ayah.
Anak Pakde Imam mengangguk. "InsyaAllah, Lik. Aku mau ajak dia ke rumahku juga," katanya.
"Ya sudah." Ayah akhirnya mengizinkan aku untuk mengikuti langkah lelaki remaja itu ke luar dari rumah Mbah Putri.
Ketika aku berjalan dengan menatap punggungnya, ingatanku membenak teman semasa kecilku, Jeje dan Sansan. Dia mengulurkan tangan ke arahku ketika aku kesulitan melangkah di jalan menanjak yang berbatu.
"Kamu mirip temanku," kataku sambil tertawa.
Dia hanya tersenyum. Ketika langkah kaki kami terhenti di rumahnya, dia mengajakku bermain tenis meja. Aku yang payah dalam olahraga hanya terkekeh ketika dia berkali-kali mencetak angka.
"Udah deh, Mas. Aku kalah terus," kataku.
Aku sengaja memanggilnya Mas karena usianya satu tahun di atas usiaku.
"Kita ke pancuran aja yuk, nanti baru aku antar ke rumah Mbah," katanya.
"Boleh deh."
***
Aku merendam kaki di bawah air yang mengalir melalui bambu yang difungsikan sebagai selang itu. Ryan tak banyak bicara, hanya tersenyum. Aku tidak bisa mengerti arti senyum remaja lelaki empat belas tahun itu hingga dia mengantarkan aku kembali ke rumah Mbah Putri sebelum azan zuhur berkumandang. Dia bahkan mencium tangan Ayah, Ibu dan Mas Hasan bergantian sebelum pamit pulang.
"Habis ke mana aja sama cowok itu?" Mas Hasan menatapku.
"Dia ngajak aku ke rumahnya sama ke rumah temennya. Kita main tenis meja di rumahnya terus main di pancuran air. Udah," kataku.
"Dia nggak bilang kamu cantik atau semacamnya 'kan?" Mas Hasan kembali bertanya.
"Apaan sih Mas? Aku 'kan emang cantik," sahutku.
"Ayah belum siap punya menantu, Kamu masih terlalu kecil," kata Ayah berlebihan.
"Ayah ... Aku cuma main, nggak pacaran," kataku sebelum melangkah ke belakang, membuka pintu dan duduk di atas rerumputan menatap bunga matahari di halaman belakang.
"Apaan sih Ayah sama Mas Hasan. Orang cuma main juga di rumah Ryan. Lebay banget ah," aku bergumam sendiri.
Tiba-tiba tangan seseorang menyentuh lenganku, membuatku seketika memegangi dada karena jantungku berdebar lebih cepat. Tunggu sebentar, sejak kapan Mila duduk di sebelahku?
#MY, 180423/27 Ramadhan 1444 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H