Kami saling berjabat tangan. Mataku terbelalak ketika menyentuh tangannya yang dingin.
"Hana, makan dulu yuk ...!" Terdengar suara Ibu dari dalam.
"Iya, Bu ..." Aku mengisyaratkan kepada Mila untuk menunggu sebentar selagi aku melangkah ke dalam rumah.
"Kamu ngobrol sama siapa, Nak?" tanya Ibu.
"Temen baru, Bu." Aku menarik lengan Ibu untuk melihat teman baruku.
"Loh, kok udah nggak ada? Dia pulang kayaknya Bu," kataku ketika tak lagi melihat Mila di halaman belakang.
"Ya sudah, yuk kita makan dulu," kata Ibu.
Aku mengikuti langkahnya menuju meja makan. Mbah Putri, Ayah dan Mas Hasan sudah duduk di kursi masing-masing.
Mbah Putri mengisahkan tentang masa kecil Ayah. Berkali-kali aku dan Mas Hasan tertawa karena kelakuan Ayah semasa kecil. Sedangkan Ibu hanya tersenyum, tetapi wajahnya seolah mengatakan 'ini bagian yang aku tunggu'.
Ketika matahari hampir berpindah sempurna ke sisi Barat, seorang lelaki rambutnya mulai terlihat memutih datang bersama lelaki yang usianya tak berbeda jauh dari Mas Hasan. Lelaki itu disebut Ayah sebagai Pakde Imam. Sedangkan lelaki remaja yang bersamanya adalah Ryan.
Jari tangannya yang kurus terulur ke arahku. Aku menjabat tangannya sesaat.