Di antara circle pertemanan zaman Sekolah Dasar, mungkin banyak yang menjadi satu-satunya anak perempuan di antara anak laki-laki. Aku, salah satunya.
Ketiga temanku adalah Idoy, Sansan dan Jeje. Dodi alias Idoy. Perawakannya kurus dan kulitnya putih kemerahan. Dia teman sekelasku.
Sansan adalah panggilan keren untuk Santo --dia merasa begitu-- usianya paling tua di antara kami. Namun, karena dia terlalu aktif bertanya di kelas, guru memberikannya nilai merah di matematika sehingga dia menjadi teman sekelasku juga.
Temanku yang paling sering menjadi juara kelas sekaligus kakak kelas di sekolah adalah Jeje, Jefri nama lengkapnya. Benar, hanya lima huruf, J-E-F-R-I. Aku suka rambut keriting miliknya, dan bulu mata lentiknya membuatku iri.
Aku Hana, yang paling cantik di antara ketiga temanku. Iya dong, aku 'kan perempuan satu-satunya di situ.
Ketika kanal stasiun televisi semalam menyiarkan berita bahwa hilal sudah terlihat, kami berempat bertepuk tangan dan bersorak bersama. Sansan sudah bersiap dengan sarung yang dikalungkan ke bahu lengkap dengan sandal jepit kesayangannya ketika tiba di rumah Idoy untuk melihat berita di televisi tabung 21 inch milik keluarganya. Rumah Idoy adalah markas besar kami karena paling luas, paling nyaman dan paling aman hahaha.
Jeje menepuk bahuku seketika. "Han, bawa mukena nggak?"
Aku mengangguk, dengan jari telunjuk mengarah ke tas rajut buatan tangan berwarna biru kombinasi merah. Tas itu asli bukti cinta Ibu untukku.
"Oke, bagus." Jari tangan Jeje mengacak-acak tatanan rambutku, membuatku otomatis berdecak kesal.
Idoy meraih remote televisi, menekan tombol merah di sana. "Yuk kita ke masjid!"
Kami otomatis mengikuti komando Idoy. Sansan berjalan paling depan sekaligus memberi arahan untuk menepi jika ada sepeda motor atau mobil yang melintasi jalan tanpa aspal yang kami lalui. Kami berempat berjalan teratur di belakang Sansan. Ketika langkahnya terhenti tanpa aba-aba, kaki kami secara otomatis menginjak belakang sandal orang di depan kami. Aku bahkan harus memegangi kening karena membentur bahu Idoy.
"Kalau mau berhenti bilang-bilang dong!" kataku, kesal.
"Maaf, maaf! Sandalku putus nih!" Sansan menunjukkan sandal jepit ternyaman berlambang burung walet yang talinya terlepas.
Aku bergegas membuka sandal, "kita nyeker aja!" kataku.
"Oke!" sahut Jeje kemudian mengikutiku, melepas sandal miliknya.
Idoy hanya mengedikkan bahu dan meneruskan langkah, menggantikan Sansan untuk memimpin jalan. "Aku nggak mau! Takut nginjek tai ayam."
"Dasar Idoy!" Aku mengepalkan tangan di belakangnya, membuat Sansan dan Jeje tertawa.
"Nggak 'pa-pa, Han. Yuk, cepetan kita harus sampai masjid biar nggak ketinggalan sholat tarawih pertama." Sansan menarik lenganku untuk berjalan di sampingnya.
Sepulang tarawih di masjid kami berjanji untuk berkumpul di rumah Idoy dan pergi ke masjid untuk salat subuh berjamaah esok hari. Aku memasang bunyi di jam weker tepat pukul tiga.
"Bu, nanti bangunin aku kalau jamnya bunyi ya," pesanku pada Ibu sebelum terlelap.
"Iya, besok belajar puasa magrib ya, 'kan sudah kelas tiga."
"InsyaAllah Bu," kataku lalu menarik selimut dan mulai memejamkan mata.
***
Jam menunjuk pukul empat tepat ketika aku selesai makan sahur dan menggosok gigi. Aku memasukkan mukena ke dalam tas dan melangkah menuju rumah Idoy setelah pamit pada Ibu.
Pintu rumah Idoy terbuka. Aku menguluk salam dan disambut senyum Mbok Karminah.
"Mana yang lain?" tanyaku pada Idoy yang tak mengalihkan pandangan sedikitpun dari televisi.
"Bentar lagi kayaknya. Tunggu aja," sahutnya.
Tidak ada percakapan di antara kami, hanya suara dari televisi untuk sesaat. Aku mencoba untuk mencairkan suasana.
"Oh iya Doy, senin besok mulai acara sanlat ya?" tanyaku.
"Heem." Idoy menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.
"Udah sahur belum, Doy?" Aku kembali bertanya, berharap dia mengalihkan pandangan dari televisi dan memandangku.
"Udah." Dia tetap bergeming di posisinya.
Aku mulai kesal kalau saja suara Sansan dan Jeje tak terdengar.
"Assalamu'alaikum," terdengar suara dua anak lelaki itu bersamaan.
Aku berdiri dari sofa empuk di ruang tamu rumah Idoy.
"Udah hampir subuh. Yuk, kita berangkat," kata Sansan.
Idoy mematikan televisi lalu menyusul langkah kaki kami menuju masjid.
***
Usai salat subuh berjamaah, aku, Idoy, Sansan, dan Jeje berbaris di posisi masing-masing untuk mendapat giliran belajar ngaji Al-Qur'an. Aku berbaris dalam shaf perempuan sedangkan teman-temanku berbaris di shaf laki-laki. Kami mulai membaca doa sebelum belajar dengan suara lantang sebelum Pak Ustadz mulai menunjuk siapa yang akan mendapat giliran pertama untuk membaca.
"Karena Santo suaranya paling keras, hari ini Santo duluan," kata Pak Ustadz.
"Yah ..." Aku dan teman-teman lainnya sontak mengeluh.
"Tidak ada yang boleh protes atau dia akan berada di urutan terakhir. Karena ini hari pertama puasa, kalian harus mulai bisa menahan diri agar tidak terbawa hawa nafsu, atau mudah marah. Paham?"
"Iya, Pak Ustadz ..."
Sansan mulai membaca surah kedua dalam Al-Qur'an dengan suara nyaring. Dengan bacaan belum terlalu lancar dia tetap berusaha membaca hingga Pak Ustadz menyuruhnya untuk menyelesaikan ayat terakhirnya.
"Shadaqallahul'adzim," ucap Sansan ketika menyelesaikan bacaan Al-Qur'an miliknya.
Pak Ustadz beralih menunjukku. Lima ayat surah Ali Imran aku baca dengan koreksi dari Pak Ustadz. Selanjutnya adalah Jeje dan Idoy mendapat giliran terakhir di antara kami.
Aku meletakkan Al-Qur'an di rak dan melipat mukena lalu menunggu Jeje dan Idoy di luar masjid. Kulihat Sansan merapikan barisan sandal di halaman masjid.
"Rajin banget," kataku memujinya.
"Biar dapat pahala," katanya dengan tertawa.
"Iya juga. Nanti sebelum zuhur kita 'kan harus ke masjid buat bersih-bersih," kataku menambahkan.
"Nah, tuh!" Sansan menjentikkan jari.
Tak lama, Idoy dan Jeje yang sudah selesai belajar Al-Qur'an menyusul kami.
"Kita ke rumah dulu naruh barang-barang. Nanti kumpul di rumahku baru kita ke sawah. Nenek nyuruh kita panen kacang hijau," kata Idoy memberi instruksi.
Kami mengangguk-angguk tanda sepakat. Lalu seperti biasa, tanpa aba-aba ketiga teman laki-lakiku itu berlari untuk lebih cepat sampai ke rumah. Untung saja matahari sudah bersinar sehingga aku tidak perlu turut berlari untuk menyamakan langkah dengan mereka.
"Ya begitulah kalau temenan sama cowok," seloroh Pak Ustadz yang tiba-tiba sudah berada di halaman masjid, tepat di belakangku.
Aku hanya menoleh sesaat lalu memamerkan senyum tiga jari ke arah guru kami itu. Rasanya ingin segera sampai ke rumah atau menutup wajah dengan mukena.
***
Langkah kecilku meniti tanah retak, berbatu lalu berlumpur di sekitar tanaman kacang hijau dan sayuran labu milik warga. Beberapa buah terong berwarna ungu menggantung cantik. Beberapa orang mengenakan kaus dengan celana panjang lengkap dengan caping mereka untuk melindungi diri dari terik.
Aku merasa tak tepat mengenakan baju berlengan panjang terusan di bawah lutut dengan topi jaring milik kakak lelakiku. Sansan membantuku menjejaki tanah-tanah retak di lahan milik nenek Idoy.
"Kita bagi dua kelompok aja, biar cepet. Ambil buah yang udah hitam kulitnya, terus taruh di plastik yang udah kita bawa. Yang paling banyak bakalan dapet uang jajan paling banyak juga," kata Idoy persis Pak Mandor proyek yang tinggal di sebelah rumah.
"Oke, aku sama Hana, ya." Jeje mengambil keputusan tanpa bertanya padaku.
"Ya udah. Kita mulai aja. Kalau dirasa udah nggak kuat karena panas, kita udahan dan pulang. Jangan sampai pingsan," kata Sansan dengan wajah tanpa senyum, tetapi membuatku justru tertawa karena ekspresinya terlihat lucu.
"Oke, kita langsung mulai," kalimat Idoy menghentikan tawaku. Dia memang senang sekali membuatku kesal. Huh, untung aku masih ingat kalau ini puasa!
Aku dan Jeje mulai memetik buah tanaman Vigna radiata yang kulitnya telah berwarna hitam itu. Meski tak banyak yang bisa kupetik, aku cukup membantu Jeje dalam mengumpulkan biji kacang hijau yang akan kami tukar dengan uang atau parsel lebaran.
"Kalau gitu kamu injek-injek aja langsung. Nih, yang di plastik ini kamu injek, pisahin kulitnya. Jadi kita bisa langsung jual bijinya," kata Jeje menyerahkan sekantung buah kacang hijau yang telah kami kumpulkan.
"Oke, deh. Kamu yang metik ya, Je. Tapi ntar bagi dua ya duitnya."
"Iya, tenang aja," dia meneruskan memetik buah kacang hijau yang kulitnya menghitam sedangkan aku memilah biji dari kulit buahnya. Tanpa terasa matahari semakin meninggi, aku merasa haus dan lelah sehingga mengajak Jeje untuk berhenti dan pulang.
"Doy, Sansan! Udahan yuk! Hana udah capek!" Jeje berteriak pada dua orang teman kami. Meski tak banyak yang bisa kami kumpulkan, aku dan Jeje cukup puas apalagi ketika Nenek Idoy berbaik hati dengan memberi kami upah sepuluh ribu rupiah.
"Bisa jajan mie ayam dua mangkok nih, Je!" Aku mengibaskan selembar uang pecahan lima ribu. Kami melakukan tos, sedangkan Sansan hanya tersenyum sambil memamerkan uang kertas pecahan dua puluh ribu ke arahku.
"Biarin aja, yang penting aku seneng!" Aku menjulurkan lidah ke arah Sansan. Kami tertawa bersama.
Jam masih menunjuk pukul sepuluh. Kami yang kelelahan akhirnya berdiam di rumah Idoy sembari menunggu azan zuhur. Nenek Idoy menggelar karpet untuk kami lesehan. Aku memutuskan untuk berbaring demi menghemat energi karena aku tak ingin membatalkan puasa.
"Kalau aku ketiduran bangunin, ya!" pesanku pada ketiga temanku.
***
Aku membuka mata ketika Jeje menggoyangkan lenganku. Kulihat Idoy berada di sampingku dengan mata terpejam. Aku segera terduduk dan mengusap wajah untuk memanggil kesadaran kembali.
"Kalian ini nggak bangunin aku!" aku protes.
"Lah ini udah bangunin," sahut Jeje.
Idoy terduduk, menguap sambil mengucek mata. Sansan tertawa sampai memegangi perutnya. Niat panen pahalaku jadi berkurang karena tertidur. Ah, salah siapa ikut panen kacang hijau!
"Udah, batalin aja puasanya nanti pas zuhur," Sansan masih menggodaku.
Aku mencebik. "Udah ah, aku ke rumah dulu mau ambil mukena. Kalian duluan aja kalau mau duluan. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu mereka menjawab salam, aku segera melangkah ke luar rumah Idoy menuju rumahku.
Sepanjang perjalanan menuju masjid, Sansan dan Jeje masih menggodaku. Sedangkan Idoy seperti biasa, tak bereaksi dan hanya menatap lurus.
"Udah, dong. Kan aku nggak sengaja tidur," kataku mulai kesal dengan Jeje dan Sansan.
"Coba nanti tanya Pak Ustadz," kata Jeje.
Aku tak menanggapi, terus melangkah di belakang mereka. Ketika kaki kami sampai di masjid, ketiga temanku segera masuk ke pintu khusus jamaah laki-laki sedangkan aku ke area perempuan. Aku meletakkan mukena, melewati bedug sebelum berbelok ke tempat wudhu.
Dua menit lagi azan zuhur akan segera berkumandang. Usai berwudhu aku mendekati ceret alumunium yang melambai-lambai sedari tadi. Melihat Sansan dan Jeje berlari ke teras masjid, aku ikut mendekati keduanya. Berdiri di belakang mereka, dekat anak tangga sebelum batas suci.
"Pak Ustadz, Hana tidur bareng Idoy di rumahnya tadi. Puasanya batal 'kan?" Sansan segera menghampiri Pak Ustadz yang baru saja melepaskan sandal jepit di halaman luar masjid.
"Kalau cuma tidur karena kecapekan ya enggak apa-apa, yang penting enggak makan sama minum 'kan?" Pak Ustadz menatapku.
Aku mendelik ke arah Sansan dan Jeje tetapi tak bisa menahan air yang kutenggak dari ceret alumunium tadi melaju ke tenggorokan. Argh!
#MY, 110423/21 Ramadhan 1444H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H