"Iya, tenang aja," dia meneruskan memetik buah kacang hijau yang kulitnya menghitam sedangkan aku memilah biji dari kulit buahnya. Tanpa terasa matahari semakin meninggi, aku merasa haus dan lelah sehingga mengajak Jeje untuk berhenti dan pulang.
"Doy, Sansan! Udahan yuk! Hana udah capek!" Jeje berteriak pada dua orang teman kami. Meski tak banyak yang bisa kami kumpulkan, aku dan Jeje cukup puas apalagi ketika Nenek Idoy berbaik hati dengan memberi kami upah sepuluh ribu rupiah.
"Bisa jajan mie ayam dua mangkok nih, Je!" Aku mengibaskan selembar uang pecahan lima ribu. Kami melakukan tos, sedangkan Sansan hanya tersenyum sambil memamerkan uang kertas pecahan dua puluh ribu ke arahku.
"Biarin aja, yang penting aku seneng!" Aku menjulurkan lidah ke arah Sansan. Kami tertawa bersama.
Jam masih menunjuk pukul sepuluh. Kami yang kelelahan akhirnya berdiam di rumah Idoy sembari menunggu azan zuhur. Nenek Idoy menggelar karpet untuk kami lesehan. Aku memutuskan untuk berbaring demi menghemat energi karena aku tak ingin membatalkan puasa.
"Kalau aku ketiduran bangunin, ya!" pesanku pada ketiga temanku.
***
Aku membuka mata ketika Jeje menggoyangkan lenganku. Kulihat Idoy berada di sampingku dengan mata terpejam. Aku segera terduduk dan mengusap wajah untuk memanggil kesadaran kembali.
"Kalian ini nggak bangunin aku!" aku protes.
"Lah ini udah bangunin," sahut Jeje.
Idoy terduduk, menguap sambil mengucek mata. Sansan tertawa sampai memegangi perutnya. Niat panen pahalaku jadi berkurang karena tertidur. Ah, salah siapa ikut panen kacang hijau!