Mohon tunggu...
Sari Azis
Sari Azis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis. Alumnus Fisip Universitas Mulawarman Samarinda. LPTB Susan Budihardjo Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Jujur, Membunuhmu Adalah Karya Seni

21 Januari 2016   17:24 Diperbarui: 10 Februari 2016   09:06 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam jahanam awal 2016.

Seorang satpam menemukan mayat di samping got dekat pabrik ikan kaleng yang di jaganya. Saking kagetnya satpam yang sedang patroli itu menjerit sekuatnya. Tak berapa lama rekan-rekannya sesama satpam berlari mendekat menembus pekat malam. Berempat menghampiri rekan yang terpaku di depan mayat berbau anyir.

Sejam kemudian.

"Selama puluhan tahun menjadi polisi, baru kali ini saya melihat korban pembunuhan diperlakukan seperti ini." geleng Kombes Arono, menutup mjulut hidung dengan sapu tangan.

"Bagi pembunuhnya ini karya seni tinggi."

"Apakah dia seorang seniman?"

"Seniman pembunuh."

"Lihat! Bagian perut korban diiris menyerupai bunga."

"Apakah dia pelukis?"

"Bukan. Pembunuhnya seseorang yang mencintai sekaligus membenci korban. Lihat tusukan di dada itu tercacah dagingnya sampai terburai begitu. Jantungnya dibawa kabur."

Psikopat mana yang berdarah dingin membunuh pengusaha muda berwajah tampan yang katanya akan menikah bulan depan? Kombes Arono bergidik. Nyaris muntah.

"Maaf, alat kelamin korban juga dipotong dan hilang, pak." lapor Esto.

Kombes Arono memutuskan kembali ke kantor. Ia serahkan tugas pada forensik. Ia akan menunggu laporan korban mutilasi keji itu. Sungguh mendapati korban pembunuhan mutilasi bukan sekali ini saja. Tetapi baru kali ini ia menemukan korban yang dibunuh dengan cara aneh kalau tak bisa di bilang unik. Tubuh korban dijadikan kanvas. wajahnya disiram darah.

Sebulan kemudian.

"Pembunuhnya pasti orang dekat."

"Ini mungkin perkara asmara sejenis, pak."

"Bisa jadi. Jika ia mengambil jantung dan alat kelamin pastilah itu simbol."

Hening.

Saya benci dia. Saya tidak suka padanya. Terkadang timbul niat ingin menyingkirkannya. Bila ingat masa lalu, rasanya saya malu. Ingin mati saja. Semua yang sudah saya lakukan untuknya sia-sia belaka. Sungguh. Dia seperti kacang lupa akan kulit. Saya tahu dia tahu apa yang saya pendam. Ia tahu seperti apa perasaan saya padanya. Bukan perasaan biasa. Belasan tahun saya rawat. Demi dia saya lakukan semuanya. Segalanya. Satu waktu bahkan saya nyaris mati karena dia. Ketika saya nekad memotong kabel listrik di sebuah perusahaan. Nyaris kesetrum. Perusahaan itu perusahaan saingan perusahaan keluarganya. Mereka punya bisnis di bidang yang sama dengan merek berbeda. Akumulasi tak tahan mendengar curhatnya betapa perusahaannya dicurangi. Di sabotase. Perusahaan saingan tersebut menjual produk dengan harga lebih miring dan memakai logo yang nyaris mirip. Ketika di gugat di pengadilan, bukannya kalah, perusahaan itu malah menang. Gugatan perusahaannya ditolak. Saya bisa merasakan kekalutan hatinya sebagai anak tunggal. Ayah dan ibunya mengandalkan dirinya untuk meneruskan tongkat usaha. Jika sampai pabrik itu gulung tikar maka tamatlah riwayatnya.

"Ahhh!" Dia mengacak-acak rambutnya."Kau tahu? Jika terjadi sesuatu pada pabrik ini ribuan orang akan terlantar!"

Saya menelan ludah. Mata kami saling bertatapan. Dia seperti bicara lewat sorot mata. Seperti minta saya lakukan sesuatu yang saya bisa untuknya. Ya.

"Tenang. Kau harus tenang." saya rangkul pundaknya. Sumpah ingin memeluk juga menciumi. Hasrat ini menggebu tertahan gengsi dan takut. Bagaimana jika dia menolak?

Dia berdiri. Mendekati jendela. Menerawang ke luar.

"Apa yang harus saya lakukan?" lirihnya. Putus asa.

Saya tersentuh. Walau sesekali saya benci tapi cinta ini menghalau kebencian. Iba. Sayang.

"Bantu saya, ya?" Dia menoleh. Memohon.

Saya mengangguk. Tak mampu menolak. Lagi.

Dia sudah menolong saya ketika di asrama dulu. Ketika saya dibully anak-anak lain, dia selalu muncul sebagai pembela. Dia amat sangat di hormati mungkin karena dia ketua siswa di angkatan kami. Ayahnya donatur pula. Sesungguhnya ia tak pintar-pintar amat. Ia sering kesulitan memahami pelajaran yang tak ia sukai. Maka sayalah yang selalu membantunya mengerjakan tugas. Di kelas ia sesekali menyontek bila ulangan tiba.

Waktu terus bergulir. Kami terus bersahabat. Saya yatim piatu. Saya hanya punya satu kakak. Di hari tua kakak saya sakit-sakitan. Maka ganti sayalah sebagai tulang punggung keluarga. Saya biayai tiga ponakan karena ipar saya tak bekerja. Dia baik memberi saya pekerjaan untuk mengelola kedai makanan. Saya tak paham mengapa ia tak mempekerjakan saya di pabriknya malah dibuatkan usaha tersendiri. Untunglah kedai makanan kami sukses dan punya franchise di mana-mana. Saya pula yang bantu dia untuk menangani setiap kasus di perusahaannya.

Walau diserahi tugas mengelola usaha kuliner tetapi posisi saya hanya manajer bukan owner. Dia tak mau berbagi kekuasaan. Saya tetap pegawai. Sabar. Saya sayang dia. Perasaan saya tak berubah kendati dia kerap gonta ganti pacar dan mengabaikan saya. Biarlah. Jika tiba saatnya dia pasti akan melihat pada saya. Bahwa hanya saya saja yang setia tanpa kompensasi padanya. Hingga satu hari ia bercerita akan menikah. Saya syok. Wajah saya pucat. terduduk lemas. Tak mampu berkata-kata.

Ketika bercermin, saya sering meneteskan air mata. Wajah di dalam cermin itu seperti terjebak dalam takdir kelam. Mengapa tak seperti orang-orang lain menjalani kehidupan dengan wajar? Mengapa harus mencintai seseorang yang sejenis? Mengapa? Entah sejak kapan perasaan itu tumbuh? Entah. Saya amat sangat mencintai mungkin karena kami selalu bersama sejak muda. Dia baik dan perhatian. Dia sering memberi apa saja seakan saya ini saudara. Atau kekasih tanpa kata baginya? Entahlah. Apakah dia juga merasakan kegalauan yang sama seperti yang saya rasakan? Kebingungan akan kepastian orientasi? Mengapa rasa itu hanya tertuju padanya? Tak pada orang lain? Apakah ini posesif hasrat atau?????

Hari demi hari bergulir. Semakin dekat pernikahan. Dia ingin punya anak dari orang yang dia cintai. Saya tak mungkin memberinya anak. Mengapa dia tak bisa merasakan yang saya rasakan? Mengapa dia kejam dengan bersemangat menceritakan pre wedding di luar negeri. Saya tersisih.

Hingga tahun berganti. Dan hari yang saya takuti kian dekat.

"Pada saat kejadian anda sedang di mana?"

"Saya tidur di rumah, pak."

"Ada saksi yang bisa menguatkan alibi anda?"

"Semua orang di rumah saya. Karena ketika malam tahun baru itu kami tidur sekamar."

"Penghuni rumah anda enam orang. Masak semua satu kamar?"

Saya mengangguk.

"Kami nonton tayangan menyambut tahun baru di kamar saya."

"Mengapa nontonnya di kamar anda bukan di ruang keluarga seperti orang-orang pada umumnya?"

Bodoh sekali polisi ini. Tentu saja itu untuk alibi. Masak saya harus jujur mengakui seluruh penghuni rumah sengaja saya ajak nonton teve di kamar kemudian tanpa sepengetahuan mereka, minuman yang mereka minum saya bubuhi obat tidur. Ketika mereka terlelap saya menyelinap keluar dalam senyap. Saya temui dia yang sedang duduk tercenung di ruang kerjanya. Dia sedang galau. Bukan terhadap pernikahan namun terhadap pabriknya yang di tuntut balik pasca kalah dalam gugatan kemarin.

Malam itu dia tak merayakan tahun baru. Dia kaget melihat saya datang. Pabrik kosong. Kantor yang terletak di sebelah kanan pabrik juga kosong. Dia ajak saya menghirup udara malam sembari melihat kembang api. Kami sama-sama tengadah ke langit kelam. Saya pandangi wajahnya dari samping. Betapa indahnya dengan rahang yang kokoh dan hidung yang mancung. Dia seperti pedaran kembang api di atas sana. Tak terasa mata saya berair.

Hingga............

Saya tusuk dia dari belakang dengan belati. Ia tersungkur ke tanah. Tak sempat bergerak saya terus tusuk punggungnya entah berapa kali. Dia terbujur kaku bersimbah darah. Kemeja kremnya berubah merah. Saya balik tubuhnya. Saya tusuk dadanya. Saya buka bajunya. Perutnya saya lukis. Darah yang membasahi tubuhnya saya sapuhkan ke wajahnya. Saya buka celana panjangnya. Saya potong kelaminnya. saya masukkan kresek. Saya ambil jantungnya saya masukkan kresek. Kemudian saya masukkan dalam termos berisi es.

Saya telan ludah.

Tidak perlu meniru Hannibal Lecter atau Jack The Ripper. Saya akan ciptakan sendiri gaya seni ini. Malam itu saya kubur jantung dan kelaminnya di pinggir hutan.

Jika saya tak bisa memilikimu. Maka tak ada seorang pun yang boleh memilikimu. Jika kamu tak berpaling pada seseorang yang selalu ada di sisimu, maka matilah kamu.

Bertahun-tahun kemudian.

Jika ingat kejadian itu maka saya akan terus membayangkan lukisan bunga entah mawar entah lily entah apapun itu di perutnya. Tak mirip bunga sebenarnya karena saya tak pandai menggambar. Tapi saya akan terus memilikinya. Karena dia adalah milik saya seutuhnya. Jujur, membunuhnya adalah karya seni. Maka cinta ini akan terus bersemi di hati bersama kenangan yang tak pernah mati.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun