Mohon tunggu...
Sari Azis
Sari Azis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis. Alumnus Fisip Universitas Mulawarman Samarinda. LPTB Susan Budihardjo Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Jujur, Membunuhmu Adalah Karya Seni

21 Januari 2016   17:24 Diperbarui: 10 Februari 2016   09:06 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Maaf, alat kelamin korban juga dipotong dan hilang, pak." lapor Esto.

Kombes Arono memutuskan kembali ke kantor. Ia serahkan tugas pada forensik. Ia akan menunggu laporan korban mutilasi keji itu. Sungguh mendapati korban pembunuhan mutilasi bukan sekali ini saja. Tetapi baru kali ini ia menemukan korban yang dibunuh dengan cara aneh kalau tak bisa di bilang unik. Tubuh korban dijadikan kanvas. wajahnya disiram darah.

Sebulan kemudian.

"Pembunuhnya pasti orang dekat."

"Ini mungkin perkara asmara sejenis, pak."

"Bisa jadi. Jika ia mengambil jantung dan alat kelamin pastilah itu simbol."

Hening.

Saya benci dia. Saya tidak suka padanya. Terkadang timbul niat ingin menyingkirkannya. Bila ingat masa lalu, rasanya saya malu. Ingin mati saja. Semua yang sudah saya lakukan untuknya sia-sia belaka. Sungguh. Dia seperti kacang lupa akan kulit. Saya tahu dia tahu apa yang saya pendam. Ia tahu seperti apa perasaan saya padanya. Bukan perasaan biasa. Belasan tahun saya rawat. Demi dia saya lakukan semuanya. Segalanya. Satu waktu bahkan saya nyaris mati karena dia. Ketika saya nekad memotong kabel listrik di sebuah perusahaan. Nyaris kesetrum. Perusahaan itu perusahaan saingan perusahaan keluarganya. Mereka punya bisnis di bidang yang sama dengan merek berbeda. Akumulasi tak tahan mendengar curhatnya betapa perusahaannya dicurangi. Di sabotase. Perusahaan saingan tersebut menjual produk dengan harga lebih miring dan memakai logo yang nyaris mirip. Ketika di gugat di pengadilan, bukannya kalah, perusahaan itu malah menang. Gugatan perusahaannya ditolak. Saya bisa merasakan kekalutan hatinya sebagai anak tunggal. Ayah dan ibunya mengandalkan dirinya untuk meneruskan tongkat usaha. Jika sampai pabrik itu gulung tikar maka tamatlah riwayatnya.

"Ahhh!" Dia mengacak-acak rambutnya."Kau tahu? Jika terjadi sesuatu pada pabrik ini ribuan orang akan terlantar!"

Saya menelan ludah. Mata kami saling bertatapan. Dia seperti bicara lewat sorot mata. Seperti minta saya lakukan sesuatu yang saya bisa untuknya. Ya.

"Tenang. Kau harus tenang." saya rangkul pundaknya. Sumpah ingin memeluk juga menciumi. Hasrat ini menggebu tertahan gengsi dan takut. Bagaimana jika dia menolak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun