Saya tusuk dia dari belakang dengan belati. Ia tersungkur ke tanah. Tak sempat bergerak saya terus tusuk punggungnya entah berapa kali. Dia terbujur kaku bersimbah darah. Kemeja kremnya berubah merah. Saya balik tubuhnya. Saya tusuk dadanya. Saya buka bajunya. Perutnya saya lukis. Darah yang membasahi tubuhnya saya sapuhkan ke wajahnya. Saya buka celana panjangnya. Saya potong kelaminnya. saya masukkan kresek. Saya ambil jantungnya saya masukkan kresek. Kemudian saya masukkan dalam termos berisi es.
Saya telan ludah.
Tidak perlu meniru Hannibal Lecter atau Jack The Ripper. Saya akan ciptakan sendiri gaya seni ini. Malam itu saya kubur jantung dan kelaminnya di pinggir hutan.
Jika saya tak bisa memilikimu. Maka tak ada seorang pun yang boleh memilikimu. Jika kamu tak berpaling pada seseorang yang selalu ada di sisimu, maka matilah kamu.
Bertahun-tahun kemudian.
Jika ingat kejadian itu maka saya akan terus membayangkan lukisan bunga entah mawar entah lily entah apapun itu di perutnya. Tak mirip bunga sebenarnya karena saya tak pandai menggambar. Tapi saya akan terus memilikinya. Karena dia adalah milik saya seutuhnya. Jujur, membunuhnya adalah karya seni. Maka cinta ini akan terus bersemi di hati bersama kenangan yang tak pernah mati.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H