Mohon tunggu...
Sari Azis
Sari Azis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis. Alumnus Fisip Universitas Mulawarman Samarinda. LPTB Susan Budihardjo Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Jujur, Membunuhmu Adalah Karya Seni

21 Januari 2016   17:24 Diperbarui: 10 Februari 2016   09:06 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia berdiri. Mendekati jendela. Menerawang ke luar.

"Apa yang harus saya lakukan?" lirihnya. Putus asa.

Saya tersentuh. Walau sesekali saya benci tapi cinta ini menghalau kebencian. Iba. Sayang.

"Bantu saya, ya?" Dia menoleh. Memohon.

Saya mengangguk. Tak mampu menolak. Lagi.

Dia sudah menolong saya ketika di asrama dulu. Ketika saya dibully anak-anak lain, dia selalu muncul sebagai pembela. Dia amat sangat di hormati mungkin karena dia ketua siswa di angkatan kami. Ayahnya donatur pula. Sesungguhnya ia tak pintar-pintar amat. Ia sering kesulitan memahami pelajaran yang tak ia sukai. Maka sayalah yang selalu membantunya mengerjakan tugas. Di kelas ia sesekali menyontek bila ulangan tiba.

Waktu terus bergulir. Kami terus bersahabat. Saya yatim piatu. Saya hanya punya satu kakak. Di hari tua kakak saya sakit-sakitan. Maka ganti sayalah sebagai tulang punggung keluarga. Saya biayai tiga ponakan karena ipar saya tak bekerja. Dia baik memberi saya pekerjaan untuk mengelola kedai makanan. Saya tak paham mengapa ia tak mempekerjakan saya di pabriknya malah dibuatkan usaha tersendiri. Untunglah kedai makanan kami sukses dan punya franchise di mana-mana. Saya pula yang bantu dia untuk menangani setiap kasus di perusahaannya.

Walau diserahi tugas mengelola usaha kuliner tetapi posisi saya hanya manajer bukan owner. Dia tak mau berbagi kekuasaan. Saya tetap pegawai. Sabar. Saya sayang dia. Perasaan saya tak berubah kendati dia kerap gonta ganti pacar dan mengabaikan saya. Biarlah. Jika tiba saatnya dia pasti akan melihat pada saya. Bahwa hanya saya saja yang setia tanpa kompensasi padanya. Hingga satu hari ia bercerita akan menikah. Saya syok. Wajah saya pucat. terduduk lemas. Tak mampu berkata-kata.

Ketika bercermin, saya sering meneteskan air mata. Wajah di dalam cermin itu seperti terjebak dalam takdir kelam. Mengapa tak seperti orang-orang lain menjalani kehidupan dengan wajar? Mengapa harus mencintai seseorang yang sejenis? Mengapa? Entah sejak kapan perasaan itu tumbuh? Entah. Saya amat sangat mencintai mungkin karena kami selalu bersama sejak muda. Dia baik dan perhatian. Dia sering memberi apa saja seakan saya ini saudara. Atau kekasih tanpa kata baginya? Entahlah. Apakah dia juga merasakan kegalauan yang sama seperti yang saya rasakan? Kebingungan akan kepastian orientasi? Mengapa rasa itu hanya tertuju padanya? Tak pada orang lain? Apakah ini posesif hasrat atau?????

Hari demi hari bergulir. Semakin dekat pernikahan. Dia ingin punya anak dari orang yang dia cintai. Saya tak mungkin memberinya anak. Mengapa dia tak bisa merasakan yang saya rasakan? Mengapa dia kejam dengan bersemangat menceritakan pre wedding di luar negeri. Saya tersisih.

Hingga tahun berganti. Dan hari yang saya takuti kian dekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun