"Sarita!" seru Mami Susana, perempuan setengah baya itu menghampiri dan memeluk Sarita.
Dia menuntun Sarita masuk ke ruangan dalam wisma, dan menyuruh Mbak Yah membuatkan teh. Bayi Sarita tampak resah, berulang kali merengek dan tampak tidak nyaman. Sarita menepuk punggung putrinya, dan mencoba menenangkannya.
"Ra nggawa susu, Sar?" tanya Mami dengan lembut.
Sarita tidak menjawab, air matanya mengalir. Mami Susana menghela napas panjang, dia memanggil Mbak Yah dan memberikan sejumlah uang.
"Yah, tolong belikan keperluan Sarita dan bayinya! Untuk sementara, biar mereka tinggal di sini dahulu."
Sarita hanya menunduk dan menangis. Tangannya menyendoki teh dan disuapkan pada bayinya.
***
"Bu," sapa pembantu di rumah Sarita, "air panasnya sudah siap."
Sarita mengangguk dan menyeret langkahnya ke kamar mandi. Mencoba melupakan kenangan buruk yang datang menyeruak tanpa diundang.
Selesai mandi, dia meraih ponselnya untuk menghubungi Riyanti. Dia harus tahu, dimana anaknya sekarang. Tiga puluh tahun lalu, saat putrinya berusia lima tahun dia memasrahkan anak itu pada Riyanti untuk diasuh. Namun, hari ini semua berubah. Riyanti datang membawa kabar bahwa Dian, nama anak itu sekarang diberikan pada Ronny, lelaki yang mengubah hidupnya. Rasa sakit dalam hatinya muncul, mengapa harus diserahkan pada Ronny? Sekali pun memang Ronny adalah ayahnya, karena hanya dengannya dia, Sarita melakukan hubungan sex tanpa pengaman. Namun, Sarita merasa tidak rela, jika Dian tinggal dengan lelaki yang mampu membuatnya jatuh cinta sekaligus patah hati berkepanjangan.
"Yanti, dimana mereka tinggal? Bolehkah aku bertemu dengan Dian sekali saja, sebelum aku mati."