"Alasannya apa? Apa kau merasa pembagian kita kurang adil?" tanya Mami Susana dengan suara tertahan, dia merasa khawatir akan kehilangan primadona wisma, yang artinya akan berkurang penghasilannya.
"Maaf, Mi. Saya hamil," kata Sarita seraya menundukkan kepalanya.
"Lhooo, kok pekok temen kowe, Nduk? Apa ora nganggo kondom? Gek wis pirang sasi olehmu meteng?" tanya Mami tanpa emosi.
Sarita hanya menundukkan kepala. Tanpa bertanya lagi, hanya dengan menatap tajam ke arahnya. Mami Susana kemudian tersenyum pada Sarita.
"Pergilah, Nduk! Tapi perlu kau ingat, rumah ini tetap menerimamu kapan pun kau akan kembali. Firasatku mengatakan, lelaki itu hanya ingin uangmu saja!" ujar Mami Susana lembut. Perempuan yang berprofesi sebagai germo itu mengusap lembut rambut Sarita. Tangan kanannya menepuk bahu Sarita, yang membuat perempuan itu menangis dengan keras.
*** Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Delapan belas bulan berlalu, janji akan dinikahi hanya tinggal janji. Ronny bahkan tega main tangan jika keinginannya tidak dituruti, dan selalu mengungkit masa lalu Sarita.
"Dasar lonthe! Sampai kapan pun akan tetap melacur!" teriak Ronny di depan rumah kontrakan mereka, sehingga tetangga kiri kanan berkerumun menonton pertengkaran mereka.
Ronny mempermalukannya hanya disebabkankan Sarita tidak bisa lagi memenuhi permintaannya. Kali ini Ronny minta dibelikan motor besar dengan harga fantastis. Sementara tabungan Sarita hampir habis untuk pengobatan putri kecilnya yang lahir dengan kelainan jantung. Selama hidup bersama, lelaki itu tidak lagi bekerja pada pejabat yang memperkenalkan mereka. Dia hanya mengandalkan tabungan millik Sarita untuk menyambung hidup. Lelaki itu tidak peduli dengan kesusahan yang dipikul Sarita, dan tega mengusir perempuan itu dari kontrakan, tanpa memberi kesempatan untuk sekadar mengambil baju ganti untuk dia dan putri kecilnya.
***
Sarita berdiri di depan Wisma Dahlia, akhirnya kembali lagi dengan keadaan menggembel sama seperti pertama kali datang.