Sarita menatap nanar rimbunan pohon bambu di sudut halaman rumahnya. Kedatangan Riyanti, membuka kembali luka lama yang dia pendam selama hampir tiga puluh tahun.
"Aku kangen padamu, Sar. Selain itu, aku ingin Kau tahu  sesuatu," ungkap Riyanti.
Riyanti mengorek isi tasnya, mengeluarkan selembar foto lama. Sarita menatap foto itu dengan mata berkaca-kaca.
"Di mana dia?"
*** Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Rumah dengan arsitektur Jawa Tengahan yang di pintu masuk terdapat papan nama WISMA DAHLIA, tampak lengang. Seperti biasa, jika siang hari suasana sepi. Karena seluruh penghuni rumah tengah beristirahat setelah semalaman bekerja. Hanya seorang perempuan setengah baya yang tampak sibuk berbenah dan membersihkan ruangan dari sampah.
Ruang tengah dengan beberapa sofa itu penuh botol-botol bir kosong. Perempuan pembantu rumah tangga itu beberapa kali menunduk, memungut karet kontrasepsi bekas yang dicampakkan di antara sampah.
"Wong ya dicepaki kamar, kok senengane kenthu nang kene," gerutunya. Â Â Â Â
Selesai menyapu dan mengepel, perempuan itu masuk ke dalam rumah utama yang dibatasi pintu kaca tembus pandang. Di ruang dalam, ada dua puluh kamar sewa , bergegas dia menuju kamar paling ujung dengan membawa keranjang tempat cucian kotor untuk memulung sprei.
"Mbak Yah!" Suara dari arah belakang menghentikan langkahnya. Dia menoleh, dan melihat Sarita melambaikan uang dua puluhan ribu ke arahnya. Perempuan yang disebut Mbak Yah itu tersenyum.
"Mbak, Mami ada?" tanya Sarita sopan. Â Â Â Â
 "Mami ya di Soba to, Mbak. Ada apa, kok tumben pagi-pagi cari Mami?" tanya Mbak Yah.
"Mbak, kalau aku pulang ke desa, menurutmu piye?" Sarita bertanya, kepalanya menunduk, tangannya memainkan ujung kaos yang dia kenakan.
"Mbak Sarita mau pulang kemana? Bukannya Mbak pernah cerita kalau sudah tidak punya siapa-siapa lagi di Eromoko?" cecar Mbak Yah.
Selain jadi pembantu rumah tangga di wisma, Mbak Yah adalah tempat curhat bagi seluruh penghuni Wisma Dahlia. Dia hafal dengan setiap permasalahan yang membawa perempuan-perempuan itu terpaksa menjual diri.
Seperti Sarita, perempuan ini, pertama kali datang ke wisma tiga tahun lalu. Saat datang, Sarita adalah perempuan kumal tak terawat. Dia diantar calo yang membawanya langsung dari desa. Sebelumnya Sarita bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta sejak usia lima belas tahun, selepas dia SMP. Sarita membawa beban hutang yang harus dibayarkan pada rentenir sepeninggal kedua orang tuanya. Â Â Â Â
*** Â Â Â
Waktu bergulir begitu cepat, Sarita memutuskan untuk berhenti. Bukan hanya karena dia sudah cukup mempunyai tabungan, tetapi karena dia melanggar pantangan terbesar sebagai penghuni wisma. Sarita hamil.
Berawal dari enam bulan lalu, ketika Sarita dibooking oleh seorang pejabat teras di kotanya. Sabtu Minggu, Sarita diajak menginap di luar kota dengan bayaran dua puluh kali lipat dari penghasilannya semalam. Sang Pejabat memiliki kelainan psikologis dalam berhubungan badan, dia mengajak ajudannya untuk ikut bersama dalam satu kamar. Sarita diharuskan berhubungan badan dengan ajudannya, sementara dia onani. Setelahnya baru Sang Pejabat menggauli Sarita sebuas singa.
Sebagai pekerja seks komersial, Sarita menerima apa pun keadaan dengan lapang dada. Akan tetapi, di pertemuan ketiga, saat melakukannya dengan Ronny, ajudan pejabat itu, Sarita merasakan getaran yang tidak biasanya. Apalagi ketika Ronny membisikkan kata sayang di sela persetubuhan, seluruh badan Sarita terasa seperti tersetrum listrik dengan voltage maksimal. Perempuan itu jatuh cinta.
*** Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
"Mami, saya mau pensiun," pamit Sarita saat berhadapan dengan germonya.
"Alasannya apa? Apa kau merasa pembagian kita kurang adil?" tanya Mami Susana dengan suara tertahan, dia merasa khawatir akan kehilangan primadona wisma, yang artinya akan berkurang penghasilannya.
"Maaf, Mi. Saya hamil," kata Sarita seraya menundukkan kepalanya.
"Lhooo, kok pekok temen kowe, Nduk? Apa ora nganggo kondom? Gek wis pirang sasi olehmu meteng?" tanya Mami tanpa emosi.
Sarita hanya menundukkan kepala. Tanpa bertanya lagi, hanya dengan menatap tajam ke arahnya. Mami Susana kemudian tersenyum pada Sarita.
"Pergilah, Nduk! Tapi perlu kau ingat, rumah ini tetap menerimamu kapan pun kau akan kembali. Firasatku mengatakan, lelaki itu hanya ingin uangmu saja!" ujar Mami Susana lembut. Perempuan yang berprofesi sebagai germo itu mengusap lembut rambut Sarita. Tangan kanannya menepuk bahu Sarita, yang membuat perempuan itu menangis dengan keras.
*** Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Delapan belas bulan berlalu, janji akan dinikahi hanya tinggal janji. Ronny bahkan tega main tangan jika keinginannya tidak dituruti, dan selalu mengungkit masa lalu Sarita.
"Dasar lonthe! Sampai kapan pun akan tetap melacur!" teriak Ronny di depan rumah kontrakan mereka, sehingga tetangga kiri kanan berkerumun menonton pertengkaran mereka.
Ronny mempermalukannya hanya disebabkankan Sarita tidak bisa lagi memenuhi permintaannya. Kali ini Ronny minta dibelikan motor besar dengan harga fantastis. Sementara tabungan Sarita hampir habis untuk pengobatan putri kecilnya yang lahir dengan kelainan jantung. Selama hidup bersama, lelaki itu tidak lagi bekerja pada pejabat yang memperkenalkan mereka. Dia hanya mengandalkan tabungan millik Sarita untuk menyambung hidup. Lelaki itu tidak peduli dengan kesusahan yang dipikul Sarita, dan tega mengusir perempuan itu dari kontrakan, tanpa memberi kesempatan untuk sekadar mengambil baju ganti untuk dia dan putri kecilnya.
***
Sarita berdiri di depan Wisma Dahlia, akhirnya kembali lagi dengan keadaan menggembel sama seperti pertama kali datang.
"Sarita!" seru Mami Susana, perempuan setengah baya itu menghampiri dan memeluk Sarita.
Dia menuntun Sarita masuk ke ruangan dalam wisma, dan menyuruh Mbak Yah membuatkan teh. Bayi Sarita tampak resah, berulang kali merengek dan tampak tidak nyaman. Sarita menepuk punggung putrinya, dan mencoba menenangkannya.
"Ra nggawa susu, Sar?" tanya Mami dengan lembut.
Sarita tidak menjawab, air matanya mengalir. Mami Susana menghela napas panjang, dia memanggil Mbak Yah dan memberikan sejumlah uang.
"Yah, tolong belikan keperluan Sarita dan bayinya! Untuk sementara, biar mereka tinggal di sini dahulu."
Sarita hanya menunduk dan menangis. Tangannya menyendoki teh dan disuapkan pada bayinya.
***
"Bu," sapa pembantu di rumah Sarita, "air panasnya sudah siap."
Sarita mengangguk dan menyeret langkahnya ke kamar mandi. Mencoba melupakan kenangan buruk yang datang menyeruak tanpa diundang.
Selesai mandi, dia meraih ponselnya untuk menghubungi Riyanti. Dia harus tahu, dimana anaknya sekarang. Tiga puluh tahun lalu, saat putrinya berusia lima tahun dia memasrahkan anak itu pada Riyanti untuk diasuh. Namun, hari ini semua berubah. Riyanti datang membawa kabar bahwa Dian, nama anak itu sekarang diberikan pada Ronny, lelaki yang mengubah hidupnya. Rasa sakit dalam hatinya muncul, mengapa harus diserahkan pada Ronny? Sekali pun memang Ronny adalah ayahnya, karena hanya dengannya dia, Sarita melakukan hubungan sex tanpa pengaman. Namun, Sarita merasa tidak rela, jika Dian tinggal dengan lelaki yang mampu membuatnya jatuh cinta sekaligus patah hati berkepanjangan.
"Yanti, dimana mereka tinggal? Bolehkah aku bertemu dengan Dian sekali saja, sebelum aku mati."
Riyanti menjanjikan besok akan menjemput sahabatnya itu dan mengantarkan pada Dian, putrinya.
*** Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Perjalanan dari lereng Lawu ke arah utara kota Solo sebenarnya tidak memakan waktu yang panjang. Riyanti menggenggam jemari Sarita yang tampak gemetar.
Mereka berdiam diri sampai saat mobil yang ditumpangi berhenti di sebuah rumah sederhana. Riyanti menggenggam tangan Sarita, memencet bel yang terletak di bagian kanan atas pintu. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima keluar menyapa mereka. Sarita terpana, dia melihat potret dirinya di masa silam.
Riyanti mengenalkan keduanya, sebagai ibu dan anak. Sarita ingin sekali memeluk perempuan di hadapannya, tapi takut jika ditolak. Dian, menghambur memeluk kaki Sarita dan menangis tersedu-sedu. Sarita menyambut anaknya dan memeluk erat tubuhnya, hanya air mata yang berbicara. Dari arah dalam, seorang lelaki dengan kursi roda menghampiri mereka dan meminta mereka masuk ke dalam rumah.
"Sar, setahun setelah Kau pergi, Aku datang ke wisma untuk kembali menjemputmu. Namun, tukang pukul Mami melarangku untuk bertemu denganmu," ungkap Ronny lirih, "Aku paham, mereka takut Kau akan kusia-siakan lagi. Tapi demi Allah, saat itu aku sudah mempunyai usaha kecil dan serius berniat menikahimu."
Ronny menatap Sarita dengan pandangan penuh cinta. Rasa yang dipendam begitu lama kembali membuncah saat tatapannya bertemu dengan mata Sarita.
"Aku terus mengikutimu. Melihat Dian kecil bermain di antara anak-anak yang tinggal di kompleks itu membuatku merasa sedih. Sampai datang kesempatan itu, Aku melihat Riyanti keluar dengan membawa Dian. Aku mengikutinya dan meminta dengan sangat Dian diperbolehkan kubawa. Maafkan Aku, Sar." Ronny menutup ceritanya dengan mengusap sudut matanya yang membasah.
"Tapi istrimu, Mas?"
"Bapak tidak pernah menikah, Bu. Bapak bahkan tidak menceritakan pekerjaan Ibu sampai Aku diceraikan mantan suamiku, dengan tuduhan aku anak haram," sela Dian.
Sarita menatap Dian dengan sedih. Anaknya menanggung karma yang seharusnya tidak dia tanggung.
"Anak?" tanya Sarita menggantung.
Dian tersenyum. Dia berkisah tentang dua anaknya dengan wajah berseri, "Sebentar lagi mereka pulang dari sekolah, dan pasti bahagia melihat Mahutinya pulang dari luar negeri."
"Luar negeri?"
"Bapak selalu mengatakan kalau Ibu tinggal di luar negeri. Karena Bapak tidak tahu dimana Ibu tinggal."
"Aku mencarimu terus, Sar. Tapi aku kehilanganmu lima belas tahun lalu saat Kau tiba-tiba pergi dari wisma itu. Kata Mbak Yah kau pensiun, dan pulang ke desa.," papar Ronny, "lalu Allah berpihak padaku. Aku bertemu dengan Riyanti di Rumah Sakit Muwardi saat tak sengaja tertabrak menantunya. Dan kita bertemu saat ini."
Sarita menangis tanpa henti, hatinya berkecamuk dengan berbagai perasaan.
"Sar, maukah Kau menikah denganku? Memperbaiki kesalahan yang pernah kita buat di masa lalu?"
"Aih! Kita sudah terlalu tua untuk menikah, Mas!"
"Tidak ada yang terlalu tua untuk cinta, karena aku ingin menghabiskan sisa umurku denganmu," tukas Ronny.
Sarita menatap gamang, Riyanti dan Dian menggangguk memberikan kode untuk setuju. Sarita meringis, dia tak mampu berpikir lagi sekarang.
"Beri aku waktu, setidaknya saat ini Aku tahu Kau mencintaiku juga, Mas. Itu cukup untukku," pungkasnya seraya tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H