*****
Mampukah aku terus berjalan ditengah kerikil tajam yang melukai telapak kaki. Cinta ketika telah memasuki fase rumah tangga ternyata jauh lebih luas maknanya, bukan lagi tentang hasrat dan syahwat. Lebih dari itu, cinta itu yang memberi kedamaian dan kenyamanan hati, serta melengkapi setiap kekurangan.
Dia, hanya Dia, ayah dari ketiga orang anakku, yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Tak pernah memudar, semakin berkilauan. Tak pernah mampu menghentikan pandangan pada Dia yang terlelap dalam lelahnya. Dialah laki-laki yang tak pernah berhenti berjuang untukku, berpeluh keringat. Menghabiskan separuh hidupnya demi menafkahi keluarganya.
Semua itu untukku, menunaikan tanggung jawabnya terhadapku seperti yang pernah dia ucapkan pada sumpah pernikahan dulu. Satu tujuannya, membahagiakan kami. Dia laki-laki istimewa, Allah memilihkannya khusus untukku. Wahai Pria pilihan Allah yang kusebut Engkau dengan sebutan Ayah, karena Engkau ayah dari anak-anaku . Engkaulah Langit bagiku. Engkau senantiasa menaungiku, memberi kehangatan sang mentari, melindungi dengan awan putih nan lembut, mencurahkan air sejuk di kala dahaga, melukiskan semburat warna pelangi. Saat mentari tenggelam, kau beri aku rembulan dan taburan bintang, hanya untukku.
*****
Dan kini…
Barisan ruang di rumah sakit itu, meski ramai oleh para pasien serta pengunjung yang datang membesuk, semua terdengar sepi, sesekali terdengar dzikir dan do’a yang terlantun dari keluarga pasien.
“Ya Allah... berikanlah kasih sayangMu kepadanya. Janganlah Engkau beri sakit yang begitu berat dan lama. Sembuhkanlah segera bila Engkau mengizinkanNya” Do’aku selepas Ashar sore ini. Arghh... tak tega rasanya melihat suamiku yang biasa tegar terbalut tubuh kokohnya, harus terbaring lemah tak berdaya dengan berbagai alat yang entah apa namanya terpasang ditubuhnya.”
“Allahu Rabbul Izzati... Zat yang Maha berkuasa atas jiwa dan raga ini, jika keinginan kami tak sejalan dengan kehendakMu, maka jangan biarkan ikhas kami terhalang tangis kekecewaan.” Do’a ini masih terlantun syahdu, sepatah dua patah kalimat masih bisa kulantunkan dengan jelas, selebihnya hanya isakan dan jerit lirih yang terdengar.
“Jika Engkau lebih sayang kepadanya, maka jemputlah dia dengan indah, dimana iman islam menjadi pengantarnya, dengan demikian kami mampu tersenyum ikhlas menyaksikan kepergiannya menuju keabadian.”
Saat keluar dari ruang ICU, berdiskusi sejenak dengan sanak saudara, aku hanya bisa berkata