Dipenghujung senja
Disaat Sang Surya mengayun cantik ke ufuk barat
Diantara rasa yang tetiba datang dan menyelinap
Debarannya mengalun lembut menguntai asa
Kamu…
Ya… itu kamu…
Laki-laki yang berani menyematkan cincin itu di jemari manis ini
“Menikahlah denganku..”
Demikian pintamu saat itu.
Sekejap saja semburat jingga matahari senja mengaburkan pikiranku.
Tapi tidak menghalangi niatanku untuk menerima pinangan tulusmu
Menggenapkan Aku dan Kamu menjadi Kita
Menyatukan mimpi dan harapan menjadi Cinta
Mewujudkan niat dalam bingkai sakinah
20 Tahun yang lalu
Jodoh, dimana pertemuan dan perpisahan menjadi bagian darinya, menuntun kami dua insan yang sebelumnya tak pernah terpikir untuk bertemu dan saling mengenal.
“Selamat pagi Ibu ada yang bisa dibantu?” Sapa ramah seorang Customer Servis sebuah Bank Swasta, yang kelak menjadi suamiku. Wajahnya biasa saja tak terlalu membuatku tertarik ketika itu.
“Selamat pagi bu, dengan Ibu siapa, ada yang bisa saya bantu?!” Sapa ramahnya sembari menjulurkan tangan
“Selamat pagi mas, Saya Noviyanti, Saya mau buka rekening baru!”
“Silahkan Ibu, boleh pinjam kartu identitasnya?”
Sony Sanjaya, nama itu sekilas kulihat dari nametag yang dikenakannya. Dan perkenalan singkat itu seolah menjadi pintu masuk takdir-takdir yang menguntai pada kehidupan kami berdua.
*****
Secangkir teh hangat menemani aktifitas pagiku kala itu, Ku lihat kotak masuk di pesan elektronik milikku karena harus mengecek tugas kuliah yang dosen kirimkan via email beberapa hari yang lalu. Ada puluhan pesan yang belum terbaca, sebagian besar hanya Spam atau iklan layanan. Namun ada satu pesan yang membuatku tertarik, nama pengirimnya nampak familiar denganku.
Assalamu’alaikum
Afwan…
Dengan nama Allah yang menguasai seluruh jiwa dan mengetahui segala urusan.
Apa kabar dengan hati yang (sebenarnya) tak pernah ku jumpa? Apa kabar dengan hati yang masih dalam perjuangannya menggapai Mardatillah?
Maaf… karena aku yang sungguh bodoh sedemikian bodoh, sehingga tak mampu menahan hasrat yang entah apa namanya, semoga tak mendekat kepada syahwat.
Rindu?
Sepertinya terlalu naif jika kata itu begitu cepat terlontar dari mulut ini yang penuh dengan ucapan dosa. Aku hanya orang asing di kehidupanmu, Orang asing yang tak mampu memaksa tuk meluruskanmu hingga patah, meskipun tak mungkin ku biarkan tulang rusuk itu bengkok.
Berkenankah Engkau jika Aku menanyakan perihal kabarmu disana? karena sungguh kuingin selalu mengetahuinya, semoga Allah selalu merahmati hidupmu dalam kebenaran, membahagiakan hari-harimu dalam ridhonya.Saat kamu baca ini, kuharap kamu menganggap bahwa aku sedang berada dihadapanmu dan langsung menuturkannya kepadamu. Meskipun secara nyata, takdir belum menyetujui hal itu.
Purnama kecil…
Demikian aku menjulukimu, tak lain karena cahayamu yang tak pernah lari dalam kesetiaan malamku.
Purnama kecil….
Kecil karena usiamu tak melampaui usiaku, meskipun hari lahir kita tak berpaut berapa lama.Tetaplah menjadi gadis yang istiqomah, wahai Purnama kecil…
Karena seorang gadis itu ibarat daun, daun yang tak berkualitas sangat mudah untuk diterbangkan, lalu berguguran ke tanah. Tapi, daun yang tak mampu dibeli, berada dipuncak, sulit untuk dipetik dan digapai, hingga terkadang dia risau, kenapa tiada yang memetiknya. Semoga tak membuatnya merendahkan dirinya dengan menggugurkan diri menyembah tanah. Sedangkan Allah telah menjadikan martabatnya tinggi, hanya laki-laki yang benar-benar hebat yang mampu menggapainya.Jika selepas ini aku dijemput-Nya pergi, jadikan surat ini sebagai nasihat untukmu, berjalanlah agar yang indah-indah menjadi terkenang, melepaskan bukan berarti menghilangkannya. Semoga kelak kita bisa saling bertemu dalam kepastian. Tapi…. Ah tidak-tidak, cukup sepasang hati kita saling meminta dalam do’a, semoga bisa senada dan seirama.
Purnama kecil…
Ah sudahlah, hari sudah pagi, sudah tidak ada lagi purnama… :DJazakillah Khair
Sony Sanjaya
*****
Berkerut keningku, bagaimana mungkin seseorang yang baru saja aku kenal tiba-tiba mengirimkan email yang isinya membuatku terkejut. Tak bergerak, bibir ini seolah tak mampu berkata. Tertegun beberapa saat, sebelum akhirnya kuberanikan diri membalas E-mail itu.
Bismillah...
Saudaraku yang semoga Allah senantiasa merahmatimu...
Nikmat Allah sungguh luar biasa tiada terkira, kekuasaan Allah melintasi segalanya, yang misterius, dan tiada disangka-sangka. Kasih sayang Allah tak akan pernah habis untuk Hamba-hambanya, bagi yang meminta ataupun yang tidak meminta, agar semata-mata kita bisa bersyukur dan terus bersyukur. Karena itu, mari kita syukuri dulu atas nikmat yang telah menganugerahkan rasa yang ada pada qalbu manusia.
Bersyukur atas pertemuan kita sehingga terjalin ukhuwah diantara kita, atas kejadian-kejadian kita yang menimpa kita sebelum ini, agar kita bisa perbaiki diri dan berpikir dewasa
Saudaraku, yang senantiasa dalam lindungan-Nya.
Kita hanya hamba-Nya yang hina, yang selalu berbuat dosa, lalai dengan karuniaNya. Alangkah tidak tahu dirinya kita jika membuat kesalahan lagi demi memenuhi hawa nafsu kita.
Kita hanya hamba lemah, yang tidak luput dari takdir dan ketentuan-Nya. Mari kita bermuhasabah dengan Cinta-Nya dan tanyakan benarkah Cinta itu lahir atas kehendak-Nya semata-mata karena-Nya? Mampukah cinta itu membawa kejalan yang diridhoi-Nya?
Saudaraku... Jika sekiranya mampu, perbaikilah niatmu dulu, kemudian titahlah kejalan Halal. Karena aku, Wanita yang hanya bisa berkasih dengan yang halal saja.Jazakallah Khairan Katsiran
Noviyanti
Hari demi hari, entah kenapa aku semakin kagum padanya. Walau hanya beberapa kali bertatap muka, tapi diskusi kami lewat chat, kedalaman ilmunya, keindahan susunan kata-katanya, sungguh meninggalkan kesan yang begitu dalam di hatiku. Aku mulai jatuh hati padanya.
Dan begitu kagetnya aku ketika dia menawarkan untuk menikah, penghujung senja kala itu menjadi saksiku mendengar permintaannya itu. Namun nalar logikaku masih terus menyangkal, Kukatakan kepadanya
“Bagaimana mungkin Engkau memintaku untuk ta’aruf sedangkan kita berdua tidak mengetahui latar belakang masing-masing, juga bagaimana nanti respon keluarga kita masing-masing.”
Dan ternyata… Dia tidak hanya menyampaikan niatnya itu kepadaku saja, tapi kepada kedua orang tuaku. Dia unggul satu point dimataku karena keberaniannya mengutarakan niat dihadapan kedua orang tuaku, tidak seperti laki-laki yang kutemui selama ini, hanya menyampaikan buaian-buaian gombal dihadapanku saja.
Hampir satu tahun penantian itu terasa begitu lama, nyaris tertatih menjaga hati ini, Karena cara ta’aruf kami tidak sepenuhnya benar, kami masih tetap saling berbalas pesan via sms ataupun chat, juga masih sering menelpon, Astaghfirullah, semoga Allah mengampuni keburukan itu.
Saat yang dinanti itu akhirnya tiba, Ikhwan nan lucu, cerdas, berilmu dan tampan itu, akan menjadi suamiku! Gadis mana yang tak bahagia dipinang pria sepertinya?
*****
Mampukah aku terus berjalan ditengah kerikil tajam yang melukai telapak kaki. Cinta ketika telah memasuki fase rumah tangga ternyata jauh lebih luas maknanya, bukan lagi tentang hasrat dan syahwat. Lebih dari itu, cinta itu yang memberi kedamaian dan kenyamanan hati, serta melengkapi setiap kekurangan.
Dia, hanya Dia, ayah dari ketiga orang anakku, yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Tak pernah memudar, semakin berkilauan. Tak pernah mampu menghentikan pandangan pada Dia yang terlelap dalam lelahnya. Dialah laki-laki yang tak pernah berhenti berjuang untukku, berpeluh keringat. Menghabiskan separuh hidupnya demi menafkahi keluarganya.
Semua itu untukku, menunaikan tanggung jawabnya terhadapku seperti yang pernah dia ucapkan pada sumpah pernikahan dulu. Satu tujuannya, membahagiakan kami. Dia laki-laki istimewa, Allah memilihkannya khusus untukku. Wahai Pria pilihan Allah yang kusebut Engkau dengan sebutan Ayah, karena Engkau ayah dari anak-anaku . Engkaulah Langit bagiku. Engkau senantiasa menaungiku, memberi kehangatan sang mentari, melindungi dengan awan putih nan lembut, mencurahkan air sejuk di kala dahaga, melukiskan semburat warna pelangi. Saat mentari tenggelam, kau beri aku rembulan dan taburan bintang, hanya untukku.
*****
Dan kini…
Barisan ruang di rumah sakit itu, meski ramai oleh para pasien serta pengunjung yang datang membesuk, semua terdengar sepi, sesekali terdengar dzikir dan do’a yang terlantun dari keluarga pasien.
“Ya Allah... berikanlah kasih sayangMu kepadanya. Janganlah Engkau beri sakit yang begitu berat dan lama. Sembuhkanlah segera bila Engkau mengizinkanNya” Do’aku selepas Ashar sore ini. Arghh... tak tega rasanya melihat suamiku yang biasa tegar terbalut tubuh kokohnya, harus terbaring lemah tak berdaya dengan berbagai alat yang entah apa namanya terpasang ditubuhnya.”
“Allahu Rabbul Izzati... Zat yang Maha berkuasa atas jiwa dan raga ini, jika keinginan kami tak sejalan dengan kehendakMu, maka jangan biarkan ikhas kami terhalang tangis kekecewaan.” Do’a ini masih terlantun syahdu, sepatah dua patah kalimat masih bisa kulantunkan dengan jelas, selebihnya hanya isakan dan jerit lirih yang terdengar.
“Jika Engkau lebih sayang kepadanya, maka jemputlah dia dengan indah, dimana iman islam menjadi pengantarnya, dengan demikian kami mampu tersenyum ikhlas menyaksikan kepergiannya menuju keabadian.”
Saat keluar dari ruang ICU, berdiskusi sejenak dengan sanak saudara, aku hanya bisa berkata
“Mari kita bersabar, bilamana Allah sangat menyayangi ayah, biarkanlah ia menyambut panggilanNya.”
Kami semua, tak kuasa menahan keluarnya air mata, bukan tidak ridha, tapi tangis ini adalah tangisan sayang untuk Ayah. Tiba-tiba, di dalam sana, suster memangilku untuk bersegera masuk ruang perawatan, denyut jantungnya tak lagi stabil, mungkin ini pertanda Ayah menyambut panggilan Allah. Ku segerakan membacakan kalimat Laa Ilaaha Ilallah, secara berulang-ulang. Dan juga dibacakan beberapa ayat Al-Qur'an. Di luar semakin hening, semua mata tertuju pada tubuh yang terbaring dibalik jendela kaca yang sengaja dibuka oleh suster. Semua pembesuk turut berdo'a menghantar kepergian Ayah ke tempat yang jauh untuk tidak kembali. Akhirnya, sesaat sebelum Adzan Maghrib berkumandang, Ayah yang telah lama terbaring itu pergi menjumpaiRabbnya.
Kami tidak melihat dia bergerak kesakitan, tidak ada obat lagi dan tidak ada beban lagi. Pergilah menyambut panggilan Ilahi Rabbi. begitu gumamku lirih.
Selamat menikmati dekapan kasih sayang Rabbmu.
“Ya Allah, panggilah Ayah yang terbaring ini dengan panggilan kasih sayangMu. Sungguh ya Allah, begitu mulia hidupnya, ia terus bergerak memenuhi dunianya di Jalan-Mu.”
*****
“Ayah…
Hari ini, di penghujung senja, masih dengan kemilau dan cinta yang sama. Aku dan anak-anak kita, tak berhenti bisikan nama Allah di telingamu saat kau hadapi Izrail yang mungkin sedang memamerkan surga dan neraka dihadapanmu, tak pernah sedetikpun aku lepaskan genggaman tanganku dan menjatuhkan air mataku, sebelum ruh benar-benar lepas dari jasadmu. Aku biarkan, cinta ini tetap bersemi dengan bulir-bulir air mata yang tersisa, tak pernah berubah dan tak akan berubah seperti penghujung senja yang lalu, saat kau melamarku, terima kasih telah menjadi Pria hebat dalam keluarga kita.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H