“Mari kita bersabar, bilamana Allah sangat menyayangi ayah, biarkanlah ia menyambut panggilanNya.”
Kami semua, tak kuasa menahan keluarnya air mata, bukan tidak ridha, tapi tangis ini adalah tangisan sayang untuk Ayah. Tiba-tiba, di dalam sana, suster memangilku untuk bersegera masuk ruang perawatan, denyut jantungnya tak lagi stabil, mungkin ini pertanda Ayah menyambut panggilan Allah. Ku segerakan membacakan kalimat Laa Ilaaha Ilallah, secara berulang-ulang. Dan juga dibacakan beberapa ayat Al-Qur'an. Di luar semakin hening, semua mata tertuju pada tubuh yang terbaring dibalik jendela kaca yang sengaja dibuka oleh suster. Semua pembesuk turut berdo'a menghantar kepergian Ayah ke tempat yang jauh untuk tidak kembali. Akhirnya, sesaat sebelum Adzan Maghrib berkumandang, Ayah yang telah lama terbaring itu pergi menjumpaiRabbnya.
Kami tidak melihat dia bergerak kesakitan, tidak ada obat lagi dan tidak ada beban lagi. Pergilah menyambut panggilan Ilahi Rabbi. begitu gumamku lirih.
Selamat menikmati dekapan kasih sayang Rabbmu.
“Ya Allah, panggilah Ayah yang terbaring ini dengan panggilan kasih sayangMu. Sungguh ya Allah, begitu mulia hidupnya, ia terus bergerak memenuhi dunianya di Jalan-Mu.”
*****
“Ayah…
Hari ini, di penghujung senja, masih dengan kemilau dan cinta yang sama. Aku dan anak-anak kita, tak berhenti bisikan nama Allah di telingamu saat kau hadapi Izrail yang mungkin sedang memamerkan surga dan neraka dihadapanmu, tak pernah sedetikpun aku lepaskan genggaman tanganku dan menjatuhkan air mataku, sebelum ruh benar-benar lepas dari jasadmu. Aku biarkan, cinta ini tetap bersemi dengan bulir-bulir air mata yang tersisa, tak pernah berubah dan tak akan berubah seperti penghujung senja yang lalu, saat kau melamarku, terima kasih telah menjadi Pria hebat dalam keluarga kita.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H