Mohon tunggu...
Alamsyah
Alamsyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis & Content Writer

Lisan Terbang, Tulisan Menetap

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Banal dan Lancung

5 Juni 2024   23:45 Diperbarui: 6 Juni 2024   00:07 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banal dan Lancung bertemu di Jakarta. Pertemuan mereka terjadi tak sengaja. Dari situ keduanya jadi berteman sampai kini. 

Banal sedikit bicara banyak kerja. Lancung sedikit kerja banyak bicara. Tetapi keduanya saling mengisi. Karena itu apapun masalah yang dihadapi, mereka mampu menyeselaikan, walau ada saja orang lain yang jadi tumbalnya. 

Banal orang Islam, rajin shalat di masjid. Lancung orang Kristen, tapi malas ke gereja. Beda agama bukan penghalang mereka untuk akur. Banal suka diejek Lancung, kenapa harus nungging-nungging ketika shalat. Banal ogah berdebat. Dia kasih buku tata cara shalat ke Lancung. 

Pernah sekali waktu Lancung ke gereja dan Banal ikut. Lancung tak melarang malah senang. Banal bilang ikut Lancung ke gereja bukan untuk masuk Kristen, tapi di samping gereja, ada masjid dan dia nunggu Lancung di masjid sambil shalat. 

Lancung menghampiri Banal di masjid, usai ke gereja. Lancung duduk di selasar masjid. Lancung heran orang yang mau shalat harus melepas alas kaki, sedangkan saat dia ke gereja alas kakinya tetap dipakai. 

Hal itu tak Lancung tanyakan ke Banal karena dia tahu akan mendapat jawaban yang tak akan dimengertinya. Atau Banal yang memang tak mengerti akan hal itu. Kedua hal itu menjadi pikiran Lancung, tetapi Lancung diam  saja sampai Banal selesai shalat.

Lancung terkejut melihat Banal memakai sepatu bagus usai shalat tadi. Padahal sejak dulu Banal tak pernah memiliki sepatu sebagus itu. 

Banal mengaku kalau sepatu itu dia ambil dari masjid setelah tadi shalat. Lancung terkekeh. Banal juga. 

Sementara alas kaki Lancung masih sandal jepit butut yang warna tali kiri dan kanannya berbeda. Kata Banal, itulah sebabnya mengapa orang Kristen tak melepas alas kaki ketika ibadah, supaya tidak diambil orang. Lancung sewot. Banal terkekeh.

Banal juga kaget ketika melihat Lancung mengeluarkan sebuah handphone dari saku celananya. Kata Lancung, handphone itu dia ambil dari seseorang yang duduk di sebelahnya saat di gereja tadi. Rupanya Lancung mengambil handphone itu saat sang pemilik meletakkan di kursi yang bersebelahan dengannya.

Banal dan Lancung sama-sama tersenyum sambil berjalan, meninggalkan gereja dan masjid yang letaknya saling berdampingan itu. 

*****

Jakarta keras. Itu istilah untuk Jakarta, yang bagi mereka keras pula dalam mencari uang di ibukota. 

Tapi Banal dan Lancung punya persepsi berbeda tentang Jakarta. Mereka sepakat Jakarta itu surga. Sebab apapun bisa mereka dapat, kendati cara mendapatkannya dilarang oleh agama. 

Seperti setelah kejadian di masjid dan gereja beberapa waktu yang lalu. Banal dan Lancung sedang berada di dalam sebuah mall elit. 

Mereka kini sudah memakai sepatu bagus. Banal memakai sepatu yang diambil dari masjid, sedang Lancung membeli sepatu baru setelah menjual handphone curiannya. 

Karena sepatu mereka bagus, sekuriti mall tak curiga. Banal dan Lancung bebas jalan-jalan di mall itu. Namun kantong mereka kosong. Haus dan lapar mulai datang. 

Banal dan Lancung berhenti di depan salah satu restoran cepat saji. Mereka mengatur strategi demi mendapatkan minuman segar dan beberapa potong ayam beserta nasi hangat.

Kebetulan pada saat bersamaan seorang wanita muda meletakan pesanan makanan dan minuman di meja dekat posisi Banal dan Lancung berdiri. Wanita muda itu tampak serius berbicara di handphonenya tanpa memperhatikan keberadaan Banal dan Lancung. 

Naluri mengambil barang milik orang lain, serta merta saja muncul pada diri Banal dan Lancung. Dalam hitungan menit, pesanan wanita muda yang ada di atas meja itu sudah dalam tentengan Banal. 

Setelah menjauh dari mall Banal dan Lancung menyantap makanan cepat saji milik si wanita muda tadi. Setelah kenyang, Banal dan Lancung kembali bingung karena tak punya rokok. 

Mereka kembali masuk ke dalam sebuah mini market  waralaba. Ketika keluar, Banal dan Lancung terlihat sudah merokok sambil terkekeh.

Dari aksi kriminal kecil-kecilan, Banal dan Lancung melakukan aksinya yang lebih besar lagi di kemudian hari. 

***** 

Banal dan Lancung punya usaha bersama, usaha penyaluran tenaga kerja. Usaha itu mereka dirikan dari uang hasil kejahatan kecil-kecilan. 

Dari hanya 1-2 orang tenaga kerja, Banal dan Lancung berhasil memperkerjakan puluhan tenaga kerja. Banal dan Lancung sengaja memberi gaji tak sesuai UMP provinsi Jakarta. Sebab keduanya tahu masih banyak pengangguran di ibukota yang membutuhkan pekerjaan. 

Jika ada yang keberatan bekerja karena gajinya tak sesuai UMP, Banal dan Lancung tak segan mengeluarkan mereka. Sebab prinsip Banal dan Lancung sama, mereka berprinsip masih banyak orang yang mencari pekerjaan di Jakarta yang keras ini.

Dari cara memperkerjakan orang seperti itu, Banal dan Lancung justru makin sukses. Keduanya berhasil melebarkan sayap bisnis ketenagakerjaan.

Banal dan Lancung memang tak memiliki pendidikan tinggi. Mereka cuma sekolah di sekolah dasar dan tak sampai lulus. Menurut cerita, Banal dan Lancung berasal dari keluarga tak mampu. Orangtua mereka cuma kerja serabutan. 

Karena kerasnya ibukota, orangtua mereka bahkan sempat jadi preman dengan berkedok anggota sebuah organisasi kemasyarakatan. Namun dari situ orangtua mereka dapat hidup dan membesarkan anak-anaknya.

Karena usaha krtenagakerjaan makin besar, Banal dan Lancung memutuskan membeli ijazah setingkat strata satu. Mereka juga membeli sejumlah surat penghargaan sebagai mahasiswa teladan dan tak ketinggalan pula membeli penghargaan untuk perusahaan ketenagakerjaan terbaik seluruh Indonesia. 

Bermodal itu semua, Banal dan Lancung semakin dikenal sebagai pengusaha sukses. Untuk menutupi semua kebohongan dan cara-cara liciknya mendapatkan cuan, mereka rutin melakukan aksi sosial.  

Cara yang tepat dilakukan Banal dan Lancung adalah dengan membuka yayasan dan rumah singgah untuk kaum dhuafa serta anak-anak terlantar. Cara tersebut benar-benar berhasil sehingga publik mengklaim Banal dan Lancung sebagai pengusaha sukses, dermawan dan baik hati.

*****

Entah kenapa persahabatan Banal dan Lancung merenggang. Bukan karena perbedaan agama atau usaha bareng ketenagakerjaan mereka. 

Rupanya kehadiran seorang pegawai baru bernama Sulastri yang membuat persahabatan Bakal dan Lancung renggang. 

Di satu sisi Lancung memperlakukan Sulastri semana-mena seperti pegawai lain, di sisi lain Banal mengistimewakan Sulastri dengan pegawai lain. 

Sikap Banal yang mengistimewakan Sulastri bukan karena Banal menyukai Sulastri, sehingga Lancung merasa cemburu. Namun, Banal mengistimewakan Sulastri sedemikian rupa dikarenakan Sulastri seorang perempuan dari desa yang polos dan rajin dalam bekerja. 

Lancung justru tidak menyukai kehadiran Sulastri yang dia anggap sebagai batu penghalang persahabatannya dengan Banal yang telah terawat sejak mereka kecil.

Hanya gara-gara Sulastri yang kata Banal perempuan polos dari desa yang rajin bekerja,  persahabatan Lancung dengan Banal merenggang. Hal itu tentu tak Lancung percayai sepenuhnya. 

Mulainya Lancung mencari tahu siapa sosok Sulastri bagi Banal. Namun Banal yang tahu rasa tak percaya Lancung, makin membuat Banal merasa tak percaya juga dengan Lancung. Makin renggang saja persahabatan kedua pria itu. 

Di satu sisi, Sulastri yang tahu kerenggangan hubungan Banal dengan Lancung, diam-diam memanfaatkan keadaan itu. 

Sulastri sengaja mengajak kekasihnya bekerja di perusahaan ketenagakerjaan Banal dan Lancung, dengan merayu dan berpura-pura mengatakan bahwa pacarnya adalah kakak sepupunya. 

Banal yang sejak awal mengistimewakan Sulastri, akhirnya setuju menerima Durga, pria yang disebut Sulastri sebagai kakak sepupunya, padahal Durga dan Sulastri berkali-kali bertemu, tanpa sepengetahuan Banal. 

Lancung yang mulai curiga terhadap Sulastri, tanpa sepengetahuan Banal mulai menyelidiki keberadaan Sulastri dan Durga. 

Sebagai orang yang terbiasa melakukan aksi kriminal, tentu bukan perkara sulit bagi Lancung untuk mengetahui siapa Sulastri dan Durga. 

Ketika sudah mengetahui siapa sosok Sulastri dan Durga, Lancung menceritakan semuanya ke Banal. Akan tetapi Banal seperti sudah tertutup mata hatinya dengan Sulastri, sehingga penjelasan Lancung dihiraukan begitu saja.

Sampai pada akhirnya, Lancung  benar-benar menyudahi persahabatannya dengan Banal. Dan Banal pun seperti orang yang dihipnotis, merelakan begitu saja kepergian Lancung yang tanpa meminta satu apapun dari perusahaan ketenagakerjaan yang sudah mereka bangun dan besarkan bersama.

Ciledug, 5 Juni 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun