"Surat itu saya yang rancang karena Imron tidak sanggup membayar hutang kepada saya, puluhan juta. Jadi, yang kamu bunuh itu bapak kandungmu!"
Aku beringsut mundur. Pak Amrih mengikuti sambil menceracau.
"Kalau ibumu mau saya nikahi, tidak akan begini jadinya. Betapa bodohnya ibumu. Untuk melahirkanmu, bapakmu saja tidak punya uang, tidak punya kendaraan buat bawa ibu mu ke dukun beranak di ujung kampung sana. Sungguh malang nasibmu Ivon"
Posisiku terhenti di meja. Pak Amrih terus mendekat. Mulutnya terus mengeluarkan kata-kata yang membuatku semakin murka dan muak.
Kedua tanganku memegang sisi meja. Tangan kananku menyentuh sebilah pisau dapur. Aku raih gagangnya. Aku genggam erat, sambil terus melihat wajah Pak Amrih.
"Rasakan sakit hati saya Ivon. Kamu sudah membunuh bapakmu sendiri. Kamu sudah merasakan, betapa tersiksanya di dalam penjara. Anak bodoh, sebodoh ibunya!"
Detik itulah aku langsung menghujamkan pisau ke leher kiri pak Amrih. Kutekan dalam dalam pisau, sampai tanganku merasakan darah segar muncrat mengenai wajahku.
Aku tinggalkan pak Amrih yang sudah tak bernyawa. Pakde Wawan baru datang. Dia terdiam. Matanya menatapku kosong.
Aku kembali tinggalkan rumah, mencari Bayu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H