Mohon tunggu...
Alamsyah
Alamsyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis & Content Writer

Lisan Terbang, Tulisan Menetap

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Story About Ivona (Part 1)

11 Februari 2021   20:58 Diperbarui: 29 Agustus 2022   15:01 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta, 18 April 1975

Bapak berlari kencang ke arah rumah Pak Amrih, orang kaya dan terpandang di kampung kami. Ibu di rumah sendirian, meregang nyawa. Mau melahirkanku.

"Tolong pinjam sepeda motor pak Amrih. Istri saya sudah mau melahirkan. Saya mau bawa dia ke dukun beranak di ujung kampung sana." kata Bapak.

"Tidak bisa. Motor sedang dipakai." singkat kata Pak Amrih.

Bapak terdiam. Matanya menangkap sepeda motor itu ada di pojok rumah sang Jutawan.

Bapak langsung kembali ke rumah. Tapi ibu sudah tak ada. Di dekat ibu, aku terlahir ke muka bumi.

Bapak terpagut. Pandangannya kosong. Sebelum bapak menyusul ibu, bapak menuliskan surat buatku.

Suratnya singkat. Kata bapak, aku bukan anaknya. Bapak menyuruhku cari tahu sendiri siapa bapakku sebenarnya, jika aku sudah besar nanti.

Aku simpan surat itu sampai aku 20 tahun.

7 Tahun Kemudian

Steve Jhonson, kurator museum dari Wina tertarik dengan karya instalasiku bertajuk "Petaka Kata". Katanya, karyaku satir dan absurd. Dia berencena mengundangku ke kotanya.

Sebulan kemudian aku terbang ke Wina bersama Steve Johnson. Di sebuah ruang seni di sana, karyaku "Petaka Kata" cukup menyita respon publik.

Banyak bertanya padaku, kenapa aku cuma memamerkan selembar surat dalam etalase kecil. Aku katakan, bapak ku tak bisa menjaga marwah ibuku.

Aku katakan begitu karena bapak memang pengecut dan tak tanggung jawab. Bapak merelakan tubuh ibu kepada Pak Amrih, sehingga lahirlah aku.

"Mengapa bapak anda membiarkan tubuh ibu kepada Pak Amrih?" tanya seorang menggunakan bahasa setempat.

"Saya rasa mungkin karena ibuku cantik" kataku

Sampai di situ aku diam. Aku baru saja membuat keterangan palsu di balik karya seniku.

Aku merapikan rambut panjangku. Angin menamparnya kencang. Sebentar aku memulas wajah. Besok aku kembali ke Jakarta.

Dalam perjalanan kembali ke tanah air, aku terngiang dengan pertanyaan orang tadi. Dari situ aku kembali memutar memori.

Ibu memang cantik. Tapi bukan karena itu bapak serahkan tubuh ibu kepada Pak Amrih. Juga bukan karena bapak terjerat hutang dengan Pak Amrih, sehingga bapak serahkan tubuh ibu.

Dan bukan juga karena ibu 'pelakor', sehingga ibu mengandung aku, dari hubungan dengan Pak Amri.

Bapak memang menyerahkan ibu kepada Pak Amrih, sebatas pekerjaan. Kala itu, kurang lebih 3 tahun lamanya, ibu menjadi asisten rumah tangga Pak Amrih. Sedangkan bapak bekerja serabutan. Dari situlah diam-diam Pak Amrih berulangkali menggauli ibu.

Ibu sebenarnya ingin berhenti bekerja, saat tahu tabiat Pak Amrih, tapi bapak melarang. Ibu sudah berterus terang, tapi bapak menganggap tidak serius. Alasan bapak cuma satu, agar ibu bisa menghasilkan uang.

Setelah tahu semua, aku menuntut pertanggungjawaban, tapi Pak Amrih tak mau mengakui kalau aku anaknya. Aku sangat marah. Kuminta bantuan teman. Temanku berhasil mengakhiri hidup Pak Amrih dengan caranya. Temanku ditangkap dengan vonis pembunuhan tunggal.

Begitu juga dengan suami ibuku. Karena kuanggap tak mampu menjaga ibu dari cengkraman Pak Amrih, ku akhiri hidupnya dengan caraku sendiri. Aku kemudian ditangkap dan diadili. Hingga kini aku mendekam di balik jeruji penjara.

Aku berhenti menulis. Sipir memintaku keluar katanya ada orang mau bertemu.

Lapas Perempuan, Pondok Bambu, Jaktim, 2016

Hari ini aku bebas dari masa hukuman yang tak sampai 20 tahun. Aku tak tahu siapa orang yang berperan dalam pembebasanku.

Namun yang jelas, di dalam map coklat yang barusan kumasukan ke dalam tas, berisi surat keterangan rumah sakit. Bahwa kemudian aku dikatakan sudah pulih dari gangguan post traumatic stress disorder.

Hari sudah masuk di sepertiga siang terakhir. Waktu-waktu seperti ini, langit akan bermetamorfosis menjadi lebih indah dari jam-jam sebelumnya.

Aku berdiri di trotoar di depan lapas, menunggu jemputan.

Sampai di rumah yang ditinggalkan selama kurang lebih 14 tahun, aku melihat tak ada yang berubah.

Masih ada foto ibu dan suaminya di dinding ruangan depan. Tapi di bawah foto ibu, ada sebuah foto yang sebelumnya tak pernah kulihat. Foto anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun.

"foto siapa ini" tanyaku sambil tunjuk foto kepada Pakde Wawan, adik kandung ibuku.

"Ini mas Gondo. Dia anak pakde yang meninggal sekitar 18 tahun yang lalu" Aku terdiam, mencoba mengingat siapa Gondo.

Setelah ibu tiada, aku tak pernah bertemu keluarga ibu. Pakde Wawan pun baru menempati rumah ibu ketika aku di dalam penjara.

Aku masuk ke kamar yang sudah belasan tahun tak kutiduri. Suasananya pun tak berubah sama sekali. Cuma ada sedikit aroma berbeda saja. Seperti ada bau serangga mati.

Setelah menaruh tas, lalu aku beranjak ke kamar ibu. Pintunya tertutup tapi tak terkunci. Aku buka lebar. Di mulut pintu kamar ibu, aku berdiri mengamati setiap sudut, tetap seperti dulu.

Di ranjang itulah ibu meninggal saat aku baru saja dilahirkannya, aku membathin sambil mengarahkan pandangan ke ranjang. Lalu dari arah depan, aku mendengar langkah tergopoh-gopoh ayah tiriku, baru kembali dari rumah sang Jutawan, Pak Amrih.

Imron, ayah tiriku lemas di tepi ranjang menyaksikan ibu sudah tak ada. Matanya lalu memandang aku, seraya meneteskan air mata. Aku merengek, mencari puting pertama ibu.

"Ivon..."

Suara yang sangat akrab di telingaku, memanggil dari arah dapur. Aku langsung bergidik. Aku tak berani menatap. Aku cuma membathin, bagaimana mungkin Dia masih ada?

Lalu ku panggil Pakde Wawan, tanpa aku berani menoleh ke sumber suara. Tapi Pakde Wawan tak menjawab. Aku mulai ketakutan. Suara tadi makin mendekat.

"Ivon..."

Tiba-tiba tangan orang yang memanggil itu menepuk bahu kiri ku. Aku kemudian jalan setengah lari ke arah kamar, tanpa menoleh.

Dia malah meraih tangan kiriku dan menariknya kuat. Aku berbalik arah dengan wajah nyaris mencium wajahnya. Aku tak berani membuka mata. Yang kurasakan kemudian ada wangi khas dari orang ini.

"Ivon..."

Setelah melawan segenap rasa takut, Aku akhirnya beranikan diri membuka mata, memandang wajah orang yang memanggil namaku dan menarik tanganku tadi.

"Bapak..." ujarku bergetar.

Rupanya, Pak Amrih yang ku duga sudah tewas, masih hidup. Aku amati seluruh tubuhnya. Sudah tua tapi masih terlihat sehat. Tubuh yang memang tak kulihat, apakah belasan tahun yang lalu, sudah benar-benar tak bernyawa, setelah Bayu temanku mengaku, sudah membunuhnya.

Belasan tahun yang lalu aku memang menyuruh Bayu untuk membunuh Pak Amrih. Aku kesal karena Pak Amrih tak mau mengaku sebagai bapakku, seperti isi surat yang diberikan Imron, suami mendiang Ibu kepadaku.

Waktu itu, aku tak melihat jasad Pak Amrih, apakah benar-benar sudah mati atau belum. Aku hanya mendengar pengakuan Bayu saja dan tidak menanyakan, dimana Bayu membuang atau menguburkan Pak Amrih.

"Ini semua karena ibumu tidak mau saya nikahi. Ibumu lebih memilih Imron, lelaki miskin itu, Ivon." Penjelasan Pak Amrih tadi, langsung membuatku heran. Aku tidak mengerti apa yang Dia maksudkan.

Pak Amrih lalu mendekatkan mulutnya ke kupingku. Dengan suara berat Dia berkata, bahwa yang terjadi selama ini adalah hasil skenarionya.

"Bayu tidak masuk penjara. Dia kabur setelah saya beri uang. Saya tidak mati, hanya sembunyi untuk balaskan dendam atas keras kepala ibumu yang tidak mau saya nikahi."
Lanjut Pak Amrih,

"Surat itu saya yang rancang karena Imron tidak sanggup membayar hutang kepada saya, puluhan juta. Jadi, yang kamu bunuh itu bapak kandungmu!"

Aku beringsut mundur. Pak Amrih mengikuti sambil menceracau.

"Kalau ibumu mau saya nikahi, tidak akan begini jadinya. Betapa bodohnya ibumu. Untuk melahirkanmu, bapakmu saja tidak punya uang, tidak punya kendaraan buat bawa ibu mu ke dukun beranak di ujung kampung sana. Sungguh malang nasibmu Ivon"

Posisiku terhenti di meja. Pak Amrih terus mendekat. Mulutnya terus mengeluarkan kata-kata yang membuatku semakin murka dan muak.

Kedua tanganku memegang sisi meja. Tangan kananku menyentuh sebilah pisau dapur. Aku raih gagangnya. Aku genggam erat, sambil terus melihat wajah Pak Amrih.

"Rasakan sakit hati saya Ivon. Kamu sudah membunuh bapakmu sendiri. Kamu sudah merasakan, betapa tersiksanya di dalam penjara. Anak bodoh, sebodoh ibunya!"

Detik itulah aku langsung menghujamkan pisau ke leher kiri pak Amrih. Kutekan dalam dalam pisau, sampai tanganku merasakan darah segar muncrat mengenai wajahku.

Aku tinggalkan pak Amrih yang sudah tak bernyawa. Pakde Wawan baru datang. Dia terdiam. Matanya menatapku kosong.

Aku kembali tinggalkan rumah, mencari Bayu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun