Ibu sebenarnya ingin berhenti bekerja, saat tahu tabiat Pak Amrih, tapi bapak melarang. Ibu sudah berterus terang, tapi bapak menganggap tidak serius. Alasan bapak cuma satu, agar ibu bisa menghasilkan uang.
Setelah tahu semua, aku menuntut pertanggungjawaban, tapi Pak Amrih tak mau mengakui kalau aku anaknya. Aku sangat marah. Kuminta bantuan teman. Temanku berhasil mengakhiri hidup Pak Amrih dengan caranya. Temanku ditangkap dengan vonis pembunuhan tunggal.
Begitu juga dengan suami ibuku. Karena kuanggap tak mampu menjaga ibu dari cengkraman Pak Amrih, ku akhiri hidupnya dengan caraku sendiri. Aku kemudian ditangkap dan diadili. Hingga kini aku mendekam di balik jeruji penjara.
Aku berhenti menulis. Sipir memintaku keluar katanya ada orang mau bertemu.
Lapas Perempuan, Pondok Bambu, Jaktim, 2016
Hari ini aku bebas dari masa hukuman yang tak sampai 20 tahun. Aku tak tahu siapa orang yang berperan dalam pembebasanku.
Namun yang jelas, di dalam map coklat yang barusan kumasukan ke dalam tas, berisi surat keterangan rumah sakit. Bahwa kemudian aku dikatakan sudah pulih dari gangguan post traumatic stress disorder.
Hari sudah masuk di sepertiga siang terakhir. Waktu-waktu seperti ini, langit akan bermetamorfosis menjadi lebih indah dari jam-jam sebelumnya.
Aku berdiri di trotoar di depan lapas, menunggu jemputan.
Sampai di rumah yang ditinggalkan selama kurang lebih 14 tahun, aku melihat tak ada yang berubah.
Masih ada foto ibu dan suaminya di dinding ruangan depan. Tapi di bawah foto ibu, ada sebuah foto yang sebelumnya tak pernah kulihat. Foto anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun.