"Memangnya Bapak betul-betul enggak kenal satu pun orang di Jakarta?"
"Engak ada. Saya datang ke sini karena di kampung cari kerja susah. Awalnya, saya pikir enak kerja di Jakarta. Kayak orang-orang. Ternyata lebih susah lagi teh di Jakarta." jelasnya.
Aku terus menyimak rangkaian kisahnya sambil sesekali memperhatikan sepasang pakaian yang dikenakan pria ini.
Aku mulai bisa membuat kesimpulan bahwa ia sudah lama sekali tidak mandi maupun mencuci pakaiannya.
Ada kemungkinan semenjak kedatangannya ke Jakarta, ia tak pernah membawa benda berharga satu pun, kecuali tas gantung kecil warna hijau yang entah apa isinya. Mungkin mimpi-mimpi dan harapan yang juga sudah lusuh.
"Saya pernah waktu di Kampung Rambutan, pas pertama kali sampai di Jakarta, tanya-tanya ke orang soal pekerjaan yang bisa saya kerjakan tapi enggak ada." Ia mulai bercerita lagi.
"Terus saya jalan kaki ke sana-ke sini. Seringnya juga saya nyari di daerah Pondok Indah buat bisa jadi tukang kebun atau apa aja gitu."
"Kalau makan sehari-hari gimana, Pak?" Suaraku berat.
"Biasanya saya makan bekas sisa orang orang kalau pas di halte, Dik."Â
"Maksudnya, Pak?"
"Saya mah makannya ngambil dari sampah. Ya sisa-sisanya itu untuk saya makan. Pokoknya apa we lah yang masih bisa dimakan di tong-tong sampah."