Pemikiran ini bukan tanpa sebab, karena aku pernah menjadi "korban". Aku pikir, dulu orang seperti mereka benar-benar membutuhkan bantuan. Namun, ternyata dugaanku salah ketika di suatu hari aku mendapati tak hanya satu atau dua orang yang melakukan "pekerjaan" serupa.
Hingga tibalah percakapanku antara aku dengan si pria malang yang ada di depanku ini. Ia mulai membuka, "Dik, saya datang dari jauh," katanya, kembali tanpa basa-basi.
"Sudah satu bulan penuh saya di Jakarta tapi enggak punya kerjaan tetap." Ia mengambil jeda untuk kemudian melanjutkan, "Saya datang kesini teh enggak ada yang bawa. Saya cuma modal nekat dengan hanya membawa duit 300 ribu waktu itu.
"Ternyata susah pisan nyah nyari kerja di sini." Keluhnya dengan logat khas yang aku tahu adalah bahasa Sunda. Sementara aku terus mendengarkannya tanpa interupsi.
"Saya mah pengennya ppu.. pulang aja sekarang ke kampung. Udah capek begini-begini terus." Ia semakin mengeluh dengan nada terbata-bata.
"Pengennya mah ada orang baik yang mau nolongin."
Nolongin? Orang baik? Batinku mulai menerka-nerka. Aku semakin paham arah pembicaraan ini pada akhirnya. Namun, aku belum bergeming dari tempatku. Padahal, rasanya ingin sekali mengatakan bahwa aku harus pergi karena aku sedang buru-buru dan lekas meninggalkannya.Â
Sayangnya sisi dalam diriku berkata lain. Aku hanya diam dan terus mendengarnya berceloteh. Selama sekian menit, ia nyaris mengulangi perkataan-perkataan yang sama.
Akan tetapi, sejauh ia bercerita, aku belum mendengar kata "minta" apa-apa darinya. Aku malah curiga. Selama beberapa saat, hanya ada hening yang membekukan kami berdua.
"Saya teh ya, pengennya pulang ka kampung. Jakarta memang keras pisan ya, Dik." Akhirnya ia kembali berbicara dan kembali hening untuk beberapa saat.Â
Aku mencoba untuk mencerna kalimat demi kalimat yang telah ia lontarkan. Dan aku baru menyadari bahwa dua laki-laki berbagi kokoh tadi sudah tidak ada lagi di tempatnya. Barangakali mereka keluar dari pintu lainnya saat aku fokus menyimak keluhan pria malang ini.