Aku menepi dan memarkirkan sepeda motorku untuk menunaikan salat ashar di salah satu masjid di bilangan sektor 1, Bintaro, Jakarta.
Seusai wudhu dan setibanya aku di dalam masjid, aku yang terlambat menunaikan salat berjamaah, mendapati isi masjidnya sudah sepi dan menyisakan dua laki-laki berbusana Muslim warna putih duduk dengan agak berjarak.
Satu orang sedang duduk ber-tafakkur, satunya lagi khusu' melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran lembaran demi lembaran pada mushaf-nya.
Di sisi lain, kulihat seorang pria paruh baya berbaju hijau tua tengah berbaring di bagian sisi kiri ruangan dalam masjid tersebut. Entah mengapa tiba-tiba ia terbangun ketika menyadari kehadiranku di sana.
Aku mencoba tak mengindahkaannya dan segera meletakkan jaket dan tas ranselku di samping salah tiang dalam masjid ini, lalu segera salat.
Aku dapat merasakan pria berbaju hijau tua memperhatikanku sepanjang rakaat salatku. Selepas salam, laki-laki itu langsung mendekatiku.
Dari jarak dekat, aku bisa melihat dengan jelas sosoknya yang memakai baju dan celana yang sangat lusuh, gigi bolong di tengah, badan kurus, dan ditambah bau matahari.
Jujur, aku sempat tak nyaman dengan kehadiran pria ini yang secara mendadak. Terlebih, aku bahkan melewatkan zikir dan rangkaian doa seperti yang biasanya aku lakukan selepas salat.
Dalam benakku, aku sempat berpikiran bahwa pria akan berusaha melobiku untuk sejumlah uang, dengan dalih ongkos pulang, belum makan seharian, kecopetan, tersesat dan berbagai modus lainnya.
Aku bukannya alergi terhadap pengemis atau gelandangan, tapi aku hanya cukup selektif dalam memberi kepada orang-orang sejenis itu.