Pemandangannya sangat menakjubkan.
"Tidakkah menurutmu malam ini indah?" Masih terkagum-kagum, Amira hanya menganggukkan kepalanya. "Apakah kau ingin melihatnya lagi?" Kakek itu tersenyum. "Ya..."
"Maka bangunlah, Nak Amira. Ikuti cahaya bulan tersebut." Saat sang kakek berbicara, spontan badan Amira bergerak sendiri. Dalam sekejap dia sudah berdiri.
Namun dia tidak menolak reaksi tersebut. Jantung Amira berdegup kencang, seolah-olah masalah-masalah yang membebaninya sudah tersapu ombak yang berlalu. Memang, Amira perlu menyadari bahwa sekarang semua itu di masa lalu. Dia harus sadar. Amira harus bangkit untuk berhasil.
Maka ia menghadap ke bulan purnama. Satu langkah, dua langkah, berlari kecil, hingga ia berlari dengan kencang. Amira tertawa kecil, jantungnya berdebar-debar dengan adrenalin.
"Semoga kesempatan berikutnya kita bertemu, kau dalam kondisi yang lebih baik, Amira."
"Halo? Haloo? Hei, sepertinya dia mulai bangun!" Amira membuka matanya, dan ia langsung berhadapan dengan sinar matahari yang hampir membutakan matanya. Sudah pagi ternyata. Kemudian Amira baru menyadari dua sosok gadis yang tidak ia kenal sedang jongkok di sisinya.
Sambil berusaha duduk - dibantu gadis berambut merah di kanannya - dan mengusap matanya, Amira bertanya, "Kamu siapa?" "Oh, namaku Diana! Kamu baik-baik saja? Eh, tapi sebelumnya, boleh aku bertanya kenapa kamu tiduran di jalur tanah taman ini? Bukankah kotor?" Amira baru mau menjawab, namun ada suara gadis lain yang memotongnya duluan.
"Dia bukan sengaja tiduran disini, Diana. Dia pingsan." Amira menoleh ke suara tersebut dan melihat seorang gadis berambut hitam lurus. Perempuan itu tidak lupa memperkenalkan dirinya juga, "Namaku Jade."
Akhirnya, pikiran Amira cukup jernih untuk memperkenalkan dirinya juga, "Namaku Amira. Aku tidak apa-apa. Namun aku baru saja mengalami... hal yang aneh."
Kemudian, Amira diajak untuk duduk di bangku taman di dekat mereka sambil berusaha menjelaskan pengalamannya. Mereka tertarik mendengarkannya sampai akhir.