Mohon tunggu...
Sandria Rania I
Sandria Rania I Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMAN 28

Murid SMAN 28 Kelas XI-MIPA 5

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Redupnya Lampu Taman

20 November 2020   18:00 Diperbarui: 20 November 2020   18:10 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Unconditional Portofolio of AnggaKaDe - anggakusumawardani.wordpress.com

Di tengah malam yang hening, seorang gadis berambut cokelat berjalan dengan pelan. Meskipun sekitarnya telah berubah gelap gulita, dia tidak merasa takut. Rasa hampa di dalam hatinya melebihi emosi apapun yang seharusnya ada.

Berjalan tanpa arah, tanpa tujuan. Kapan terakhir kali Amira merasa seperti ini? Begitu sendirian dan putus asa.

Entah sudah berapa lama dia berjalan. Hatinya sakit, seolah-olah dicengkeram dengan genggaman tangan kuat yang tidak mau lepas. Apa penyebab rasa sakit ini? Dia tidak tahu. Namun sekarang, Amira merasa bahwa dia butuh istirahat sejenak.

Amira berhenti di tempatnya. Saat ia mendongak kepalanya, gadis itu mulai mengamati lingkungan sekitarnya. Tidak ada apapun selain rumput-rumput liar sejauh matanya memandang. Satu-satunya hal yang berbeda adalah sebuah jalan setapak terbuat dari tanah di bawah kakinya. 'Dimana ini? Bagaimana aku bisa sampai di tempat ini?' tanya Amira dalam pikirannya.

Di ujung jalan tanah tersebut, dia melihat sebuah cahaya redup yang mengambang. 'Apa itu?' Penasaran, Amira pun mulai berjalan menuju cahaya tersebut.

Setelah beberapa langkah, Amira menyadari bahwa cahaya itu berasal dari sebuah tiang lampu, dan di bawahnya ada bangku taman. Sepertinya Amira sedang berada di suatu taman.

Namun, sebentar- Sepertinya ada sosok duduk di bangku itu?

Ya, ternyata ia tidak berhalusinasi. Di bawah cahaya redup itu ada sosok seorang kakek tua. Seluruh pakaiannya berwarna abu-abu gelap---Jika Amira tidak menyipitkan matanya, mungkin ia tidak bisa membedakan kakek itu dengan sekitarnya---Kakek itu juga memakai topi bowler yang selaras dengan pakaiannya. Sayangnya, Amira tidak bisa melihat wajah sang kakek dengan jelas karena tertutup topi tersebut.

Tiba-tiba, kakek tua itu bertanya, "Halo, gadis muda. Apa yang kamu lakukan disini?" Amira tercengang. Sepertinya kakek itu menyadari bahwa Amira sedang mengamatinya.

"Maaf, Kek. Sepertinya saya salah jalan-" Amira berbalik untuk kembali ke jalur ia datang, namun kakek tua itu memotongnya sambil berkata, "Sudah terlalu gelap, Nak. Sebaiknya kamu tidak berkeliaran sekarang, kecuali kamu ingin tersesat. Kemarilah, duduklah di sampingku."

Tentu saja Amira tidak bisa menolak permintaannya. Selain itu, dia sendiri tidak tahu dia dimana. Kakek itu tidak mungkin memiliki niat buruk, kan?

Amira berbalik badan untuk mengamatinya kembali. Kakek itu terlihat sangat lemah. Tentu dia tidak akan bisa melakukan hal buruk kepadanya. Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Amira memilih untuk duduk di samping kanan kakek tua itu.

"Kau terlihat lelah, Nak. Ada masalah apa dengan dirimu?" Amira mengedipkan matanya. Apakah terlihat jelas dari wajahnya?

"Eh... Iya, kek." Gadis itu menghela napas. Sebenarnya, dia punya banyak masalah. Dan memikirkan semua hal itu sekaligus akan membuat kepalanya pusing. Dia mengira kakek itu akan mempertanyakannya, namun beliau hanya diam saja.

Maka Amira dan kakek itu duduk dalam kesunyian, tidak ada suara dari keduanya. Amira mendongak kepalanya. Langit diatasnya sangat hitam. Dimana bintang yang berkerlap-kerlip? Dimana sosok bulan yang bersinar dalam kegelapan?

Kegelapan mengingatkan Amira sesuatu. Sebuah ingatan tiba-tiba terlintas di benaknya.

Dimas, nama mantannya. Dulu, mereka dikenal sebagai pasangan romantis. Salah satu dari mereka tidak akan pergi tanpa yang yang lainnya. Orang-orang berkata cinta mereka seperti takdir dari lahir. Kapanpun gadis itu bersamanya, hati Amira akan selalu penuh dengan cinta. Selama bertahun-tahun, dia berpikir Dimas merasakan hal yang sama dengan dirinya.

Namun... ternyata hal itu tidak benar. Karena suatu hari, secara mendadak Dimas putus dengannya.

Tidak ada alasan, tidak ada masalah, tetapi tiba-tiba saja, Dimas...

Dan yang lebih menyakitkan lagi, Amira baru menyadari bahwa Dimas sudah menyimpan orang lain di dalam hatinya sejak lama.

Seperti menambah racun dalam luka, hatinya yang sudah retak seolah-olah telah dibanting lagi hingga hancur berkeping-keping. Berbagai macam pikiran negatif langsung menyusup ke kepalanya. Bagaimana mungkin? Sejak kapan? Kenapa ia tidak menyadarinya? Dan yang paling penting menurutnya, apa kekurangan Amira sehingga Dimas-

"Kamu tidak apa-apa, Nak?" Seketika ucapan itu memotong pikiran Amira. Gadis itu menatap ke kakek tua itu dengan mata yang suram. "Ah... tidak apa-apa, kek," katanya sambil menggelengkan kepala.

Kakek itu tidak bergerak sama sekali, hanya mulutnya yang bergerak dan bertanya, "Mengingat sesuatu buruk?" Menjawab pertanyaannya, Amira mengangguk. Dia penasaran bagaimana kakek ini bisa terus menebak pikirannya? "Iya kek," jawab Amira.

Kakek itu melanjutkan, "Tenangkan dirimu. Memori itu akan berlalu. Semua sudah di masa lalu." Amira terdiam. Memang, kejadian itu sudah sebulan sekarang, namun mengingatnya sedikit saja masih membuat hatinya sakit. "Maaf kek, memori itu sudah sebulan, tapi aku masih belum bisa menerimanya." "Tidak apa-apa, Nak. Kau akan menemukan cahaya baru di hatimu. Sabarlah."

'Cahaya baru? Perkataan kakek ini sangat aneh', pikir Amira. Namun, kata-kata itu benar-benar membuat hatinya lebih tenang.

Hal itu juga mengingatkannya, dulu Amira bersahabat dengan seorang gadis cantik bernama Lisa. Lisa adalah seseorang yang selalu bisa dipercaya. Dia baik, ramah, dan selalu tahu apa yang Amira perlu dengar. Segala hal gadis itu ceritakan padanya, termasuk tentang Dimas, pacarnya saat itu. Amira tidak pernah menceritakannya kepada siapapun kecuali pada sahabatnya itu.

Hingga dua hari sebelum Dimas putus dengannya, Amira kehilangan kontak dengannya. Tidak, dia sengaja diblokir. Awalnya, Amira berpikir bahwa Lisa sedang dalam masalah, namun anehnya, akun sosial media lainnya masih aktif. Hanya kepada dirinya, Lisa menghilang tanpa sepatah kata apapun.

Amira sempat berpikir hal ini terkait dengan Dimas. Namun, memikirkan tentang hal itu terlalu menyakitkan untuknya. Amira enggan menyangka bahwa sahabatnya sendiri tega mengambil pacarnya.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kemungkinan itu masih ada.

Sebelum Amira sempat memikirkannya lagi, sang kakek itu kembali bertanya, "Apakah kamu punya keluarga dekat?" Amira berpikir sejenak, lalu menggeleng kepalanya. Sejak kecil, keluarganya tidak pernah dalam kondisi yang baik. Setelah bertahun-tahun menderita, akhirnya Amira memutuskan untuk hidup sendiri. Namun hingga sekarang, uang yang diperolehnya dengan susah payah pun tidak pernah cukup untuk hidup yang nyaman.

Kakek itu mengangguk pada jawaban singkatnya. "Baiklah. Maafkan kakek ini untuk bertanya," katanya sambil menghela nafas.

Amira mengangguk. Dia hampir berpikir bahwa mereka akan dikelilingi kesunyian lagi, hingga kakek itu bertanya, "Nak, Kakek ini sedang melihatmu seakan-akan kamu akan tenggelam dalam kesedihan. Bagaimana kalau kamu ceritakan masalah yang membebani hatimu?" Amira menoleh kepadanya. Sampai sekarang Amira masih belum mengerti maksud kakek ini.

"Masalah? Yah, ada banyak sih kek." Amira menarik nafas dalam-dalam, lalu perlahan menghembuskannya. Dia pun mulai menjelaskan, "Aku tidak tahu kenapa, kek. Akhir-akhir ini, aku sering merasa sedih. Mungkin karena beberapa hal yang telah terjadi. Mantanku putus tanpa alasan yang jelas, aku kehilangan sahabat baikku, uangku menipis, dan tidak ada keluarga yang bisa kuminta tolong. Namun tidak pernah aku merasa se-putus asa ini, hingga sekarang."

Entah kenapa, tubuh Amira menggigil saat dia menjelaskan. Amira mengangkat kedua tangannya dan memeluk badannya, sambil mencoba untuk menghangatkan diri.

Namun, hal itu tidak berbuah hasil. Seolah-olah dingin itu berasal dari dirinya sendiri.

"Terkadang aku bertanya-tanya, apakah semua ini terjadi karena diriku sendiri? Kalau iya, apa kesalahan yang telah aku lakukan? Kenapa semua ini terjadi padaku?"

Tanpa disadari, air mata mulai mengucur dan membasahi pipinya. Terisak-isak, Amira bertanya dengan suaranya yang lirih dan menyedihkan, "Apakah ini karena aku tidak berguna? Apakah Dimas meninggalkanku karena dia bosan denganku? Apakah Lisa memanfaatkanku karena aku terlalu naif? Apakah keluargaku senang aku tidak ada? Apakah aku dalam kondisi seperti ini karena aku kurang kerja keras? Kenapa? Kenapa?!"

"Nak Amira, sadarkan dirimu!" Amira menoleh ke kirinya. Kakek itu telah melepas topi bowlernya---Amira menyadari bahwa wajahnya sangat pucat, seperti terjangkit penyakit mematikan---dan menatapnya dengan dua mata yang penuh kesedihan.

Dia menghela napas, "Kakek tua ini sangat sedih melihat jiwa muda sepertimu sudah menderita seperti ini, terutama dengan masa lalumu."

"Tapi tolong, untuk kakek tua ini, kamu harus bertahan. Kakek tahu hidup ini tidak adil, tapi kakek juga tahu bahwa hidup itu tidak selalu seperti yang kau kira."

"Hanya karena sekarang kau dalam kegelapan, bukan berarti kau akan terjebak di dalamnya untuk selamanya."

"Kamu harus bergerak. Kamu harus bangkit, Amira. Karena ada sebuah cahaya yang menunggumu di penghujung malam ini."

Kakek itu kembali menatap ke angkasa, dan Amira baru menyadari bahwa langit diatas mereka penuh dengan bintang-bintang yang bersinar terang, dan tak jauh dari mereka adalah---tak lain---sosok bulan purnama. Tidak seperti saat ia datang, lingkungan sekitarnya sekarang terlihat jelas karena bintang-bintang yang menyinarinya. Bahkan mengalahkan cahaya redup lampu taman diatasnya.

Pemandangannya sangat menakjubkan.

"Tidakkah menurutmu malam ini indah?" Masih terkagum-kagum, Amira hanya menganggukkan kepalanya. "Apakah kau ingin melihatnya lagi?" Kakek itu tersenyum. "Ya..."

"Maka bangunlah, Nak Amira. Ikuti cahaya bulan tersebut." Saat sang kakek berbicara, spontan badan Amira bergerak sendiri. Dalam sekejap dia sudah berdiri.

Namun dia tidak menolak reaksi tersebut. Jantung Amira berdegup kencang, seolah-olah masalah-masalah yang membebaninya sudah tersapu ombak yang berlalu. Memang, Amira perlu menyadari bahwa sekarang semua itu di masa lalu. Dia harus sadar. Amira harus bangkit untuk berhasil.

Maka ia menghadap ke bulan purnama. Satu langkah, dua langkah, berlari kecil, hingga ia berlari dengan kencang. Amira tertawa kecil, jantungnya berdebar-debar dengan adrenalin.

"Semoga kesempatan berikutnya kita bertemu, kau dalam kondisi yang lebih baik, Amira."

"Halo? Haloo? Hei, sepertinya dia mulai bangun!" Amira membuka matanya, dan ia langsung berhadapan dengan sinar matahari yang hampir membutakan matanya. Sudah pagi ternyata. Kemudian Amira baru menyadari dua sosok gadis yang tidak ia kenal sedang jongkok di sisinya.

Sambil berusaha duduk - dibantu gadis berambut merah di kanannya - dan mengusap matanya, Amira bertanya, "Kamu siapa?" "Oh, namaku Diana! Kamu baik-baik saja? Eh, tapi sebelumnya, boleh aku bertanya kenapa kamu tiduran di jalur tanah taman ini? Bukankah kotor?" Amira baru mau menjawab, namun ada suara gadis lain yang memotongnya duluan.

"Dia bukan sengaja tiduran disini, Diana. Dia pingsan." Amira menoleh ke suara tersebut dan melihat seorang gadis berambut hitam lurus. Perempuan itu tidak lupa memperkenalkan dirinya juga, "Namaku Jade."

Akhirnya, pikiran Amira cukup jernih untuk memperkenalkan dirinya juga, "Namaku Amira. Aku tidak apa-apa. Namun aku baru saja mengalami... hal yang aneh."

Kemudian, Amira diajak untuk duduk di bangku taman di dekat mereka sambil berusaha menjelaskan pengalamannya. Mereka tertarik mendengarkannya sampai akhir.

"Hah, aneh sekali. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi, Amira?" Tanya Jade. Namun Amira menggeleng kepalanya. Pengalaman tersebut terasa terlalu nyata untuk sebuah mimpi.

"Eh, tapi aku juga pernah dengar rumor akhir-akhir ini." Kedua gadis itu menoleh pada si gadis berambut merah. "Orang-orang berkata bahwa jika seseorang berkeliaran dalam taman itu pada tengah malam, mereka akan bertemu dengan sosok seseorang yang sudah meninggal. Hii! Mengerikan!" Diana bergidik sambil mengusap tangannya.

Kebingungan, Amira bertanya, "Tapi, bukankah aneh bahwa sosok yang aku temui adalah seorang kakek-kakek tua?" Jade mengetuk kukunya pada bangku taman. Lalu, dia menjawab, "Sepertinya Diana benar. Sebelumnya kita sering melihat seorang kakek-kakek datang kesini. Akhir-akhir ini beliau tidak pernah muncul. Mungkin karena beliau sudah wafat?"

Ketiga gadis itu terus bertanya-tanya, namun mereka tidak menemukan jawaban untuk pertanyaan mereka.

Pada akhirnya - entah karena lapar atau bosan - Diana mengajak mereka untuk pergi mencari makan. Tentu saja mereka mengajak teman baru mereka, Amira.

Sebelum meninggalkan taman tersebut, Amira kembali untuk melihat ke arah taman. Di ujung matanya, dia bisa melihat sebuah bangku kosong dan tiang lampu yang telah dimatikan, terisolasi di tengah-tengah rerumputan hijau.

Sejenak, Amira mengira bahwa ada sosok kakek tua berpakaian abu-abu tua--- yang warnanya sekarang sangat berbeda dengan lingkungannya yang begitu cerah--- duduk di bangku taman tersebut. Kakek itu tersenyum padanya.

Tanpa disadari, Amira membalas senyumannya. "Terima kasih, kek. Walau aku butuh waktu, aku janji aku akan berusaha pulih."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun