Simak pembahasan berikut ini:
1. Keputihan tidak najis
Imam an-Nawawi رَحِمَهُ ٱللّٰهُ menjelaskan khilafiyyah di kalangan ulama dalam hal ini, maka beliau رَحِمَهُ ٱللّٰهُ mengunggulkan pendapat bahwasanya keputihan tidak najis dan sifatnya suci. Beliau menerangkan: “Keputihan yang keluar dari farji (kemaluan wanita) adalah cairan putih yang diperselisihkan sifatnya, apakah ia disamakan dengan madzi ataukah cairan kemaluan biasa.
Oleh karena itulah para ulama berselisih pendapat mengenai hukumnya. Penulis kitab al-Hawi (Imam al-Mawardi) menukil penegasan Imam as-Syafi’I dalam sebagian kitabnya , bahwa keputhan pada wanita hukumnya suci.8
Adapun dalil sebagai dasar sucinya cairan/sekret keputihan yakni hadits Aisyah yang mengerik sisa mani yang menempel pada baju Beliau yang keluar sewaktu berhubungan badan. Bahkan baju tersebut tetap dipakai oleh Beliau ﷺ untuk melaksanakan shalat, meskipun sisa kerikan tadi masih menempel padanya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
ُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
“Aku pernah mengerik mani tersebut dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”9
Imam Ibnu Qudamah menjelaskan maksud hadits ini: “Hukumnya (yakni keputihan atau lendir dari farji wanita) adalah suci, karena di sini Aisyah mengerik mani dari baju Rasulullah ﷺ yang keluar setelah berhubungan intim.”10
2. Keputihan najis
Menurut jumhur ulama, hukum asal keluarnya keputihan yang dialami oleh Muslimah ini membatalkan wudhu. Menurut penulis Safinatun Najah, pembatal wudhu ada 4 yakni: