Secara religius dalam sebuah hadist di jelaskan :
"Telah bercerita kepada kami, Abu al-Fadhl al-Marwazi, ia berkata, telah bercerita kepadaku Ibnu Abi Uwais, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Husain bin Abdillah bin Dhumairah, dari Amru bin Yahya al-Mazini, dari kakeknya, Abu Hasan, sesungguhnya Nabi saw membenci nikah sirri, sampai dibunyikannya alat musik (rebana/tamborin), dan dikatakan kami mengundang kalian, kami mengundang kalian, maka datanglah kepada kami, karena kami mengundang kalian."
Namun hadist inimemiliki derajat hadits dha'if. Ada dua rawi dalam rangkaian sanad hadis tersebut yang dilemahkan oleh imam hadits selain Imam Ahmad. Dua rawi tersebut adalah Ibn Abi Uwais, yang dilemahkan oleh Imam al-Nasa'i, dan Husain Ibn Abdillah Ibn Dlumairah, yang di-dha'if-kan oleh Imam Malik bin Anas. Imam Ahmad sendiri menerima dua rawi tersebut, walaupun derajatnya biasa-biasa saja. Walaupun hadir ini dha' if untuk menjaga alangkah lebih baiknya jika kita menghindarinya.Â
Secara yuridis menurut PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2019 Pasal 1 "Pencatatan Pernikahan adalah kegiatan pengadministrasian "peristiwa pernikahan " menurut yuridis pencatat pernikahan penting karena sebagai administrasi negara dan menjaga hak hak suami istri.
Dampak dari pernikahan yang tidak di catatkan :
Istri tidak mempunyai perlindungan hukum
Anak tidak bisa mendapat nama ayahnyaÂ
Anak tidak dapat menjadi ahli warisÂ
BAGAIMANA PENDAPAT ULAMA DAN KHI TENTANG PERNIKAHAN WANITA HAMIL ?
Menurut para ulama berpendapat:
Menurut Sayyid Sabiq, boleh menikahi wanita pezina dengan catatan wanita tersebut telah bertaubat terlebih dahulu.