Dalam ibadah shalat, kaum Sunni dan Syiah menghadap kiblat dan gerakannya tidak beda dengan fiqih Sunni Imam Malik. Tangannya tidak sedekap ketika qiyam. Orang Islam yang bermazhab Syiah dalam shalat membaca qunut dan dipraktekan dalam fiqih Sunni Imam Syafii, yang di Indonesia oleh warga NU (Nahdlatul Ulama). Waktu shalat wajib yang dijalankan kaum Syiah adalah setelah tergelincir matahari hingga tenggelam matahari untuk waktu zuhur dan ashar.Â
Ketika langit sudah terlihat gelap hingga tengah malam untuk waktu shalat maghrib dan isya.Ini juga dilakukan oleh warga Nahdlatul Ulama di Jawa Timur yang dibenarkan dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, yang menganut fiqih Imam Malik.apabila orang menganut kaum syiah dan bershalat mermakmaum degan orang berqaum sunni maka diperbolehkan shalatnya mengikuti cara shalat orang sunni,lafada yang dibaca sama seperti bismillah,suraat pendek,dan untuk orang syiah tersendiri Ketika jeda antara bismillah dan surat pendek tidak mengucapkan amin,karena menurut mereka mengucapkan amin bukan termasuk rukun shalat,untuk pembacaan qunut juga sama antara qaum sunni dan qaum syia,untuk qaum syiah tersendiri pembacaan qunut dibaca Ketika sebelum rukuk rakaat kedua, sedangkan untuk qaum sunni qunut dibaca setelah rakaat kedua disaat qaum sunni melaksanakan shalat shubuh ,kemudian yang dijadikan tempat sujud adalah tanah yang dipadatkan,tetapi jika tidak ada tanah yang padat diharapkan memakai kertas putih atau bahan bahan yang berasal dari bahan tumbuhan alam yang tidak dikonsumsi dan dijadikan pakaian. Dalam wudhu, Muslimin Syiah mengikuti Al-Quran surah Al-Maidah ayat 6: basuh muka dan kedua tangan hingga sikut, usap rambut kepala dan kedua punggung kaki. Wudhu model ini dilakukan juga dalam fiqih Hanafi dan fiqih Maliki. Dalam mazhab Sunni, selain yang rukun (yang dipraktekan fiqih Syiah) juga mengerjakan yang sunah seperti cuci tangan, kumur-kumur, menghirup air dalam hidung, dan mengusap telinga.
Tradisi Yang Ada Diindonesia
Dalam tradisi, kaum Muslimin Syiah hampir sama dengan pengikut Sunni dari Nahdlatul Ulama. Selalu membaca shalawat, yasinan, tahlilan, baca doa-doa panjang (jausan kabir, kumail, iftitah, dan doa-doa yang terdapat pada kitab shahifah sajjadiyyah, dan lainnya), menjalankan puasa nisfu sya’ban, rebo kasan, shalat lailatul qadar, ziarah kubur, haul, asyura, dan peringatan maulid nabi. Sudah menjadi tradisi bahwa kaum Syiah memuliakan Ahlulbait dengan merayakan hari kelahiran dan hari wafat Rasulullah SAW beserta Ahlulbait yang diisi dengan doa ziarah dan tawasul. Sebagian kaum Sunni juga melakukan tradisi maulid dan haul serta melantunkan shalawat dan membaca doa tawasul.Â
Di perkampungan Tatar Sunda ada kebiasaan melantukan shalawat al-kisa: li khamsatun utfi bihaa, haral wabail khatimah, al-musthafa wal murtadha, wabnahuma wal fathimah. Shalawat ini dalam tradisi Syiah sebagai bentuk permohonan kepada Allah agar terhindar dari segala musibah dengan menyertakan namanama orang suci dari keluarga Rasulullah saw. Lantunan al-kisa ini sering dibacakan ketika tiba rabu terakhir bulan shafar, yang disebut rebo kasan. Di Kota Gede, Yogyakarta, terdapat tradisi pembuatan jenang sura sebagai bentuk menolak bahaya setiap bulan Muharram.
Sebelum berbicara mengenai wacana ‘ancaman Syiah’, penting kita memahami terlebih dahulu keberadaan Syiah di Indonesia. Keberadaan Syiah di Indonesia dapat ditelusuri asal-usulnya hingga sejarah awal perkembangan Islam di tanah Nusantara. Beberapa literatur sejarah menyebutkan Islam Syiah di Nusantara sudah ada sejak abad ke-9 masehi.20 Menurut Profesor A. Hasjmy dalam bukunya yang berjudul Syiah dan Ahlussunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, Islam Syiah awalnya dibawakan oleh para migran dari Arab, Persia, Gujarat (India). Berawal dari hubungan dagang dan asimilasi dengan warga lokal ini, kerajaan Islam Perlak, kerajaan Islam pertama di Nusantara, kemudian berdiri.Â
Beberapa tradisi ritual Syiah masih dapat ditemukan dalam beberapa upacara adat di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Terlepas dari kenyataan sejarah ini, Syiah di Indonesia masih dianggap asing oleh masyarakat Muslim di Indonesia yang mayoritas Sunni, dan bermazhab Syafi’i. Namun perbedaan antara Sunni dan Syiah di Indonesia tidak pernah terlalu dipermasalahkan kecuali dalam beberapa waktu yang melahirkan beberapa insiden. insiden ini pun lebih diwarnai motif kepentingan ekonomi dibandingkan persoalan teologis. Di era 1980an dan 1990an, bahkan para aktivis Islam di Indonesia menggunakan referensi bacaan yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah seperti Ali Syari’ati dan Murtadha Muthahhari.
KESIMPULAN .
Perpecahan mazhab dalam agama Islam bermula dari persoalan yang berhak memimpin umat Islam pascawafat Nabi Muhammad SAW. Namun, pengaruhnya terasa sampai sekarang dengan munculnya gerakan dan provokasi dalam bentuk media yang menyudutkan Syiah dengan gelaran sesat dan bukan Islam.Â
Dilihat dari sumber keduanya masih berdasarkan pada Al-Quran dan AlHadis. Dalam pemahaman atas dua sumber tersebut terjadi perbedaan karena dipengaruhi tingkat intelektualitas dan situasi zaman. Karena itu, sesama umat Islam yang lahir dari persoalan politik tidak perlu memperkeruh suasana dengan provokasi. Selayaknya kedua umat Islam dari mazhab ini membangun peradaban Islam dengan menyumbangkan karya intelektual dan menolong orang-orang Islam yang menderita karena kemiskinan.Â
Umat Islam sekarang ini tidak perlu mengorek perbedaan. Biarlah perbedaan mazhab dan benar tidaknya menjadi khazanah yang dikaji dalam lingkungan akademis dengan tinjauan ilmiah.Yang perlu dilakukan adalah mewujudkan ukhuwah Islamiyah di antara sesama umat Islam dengan kegiatan bersama antara pemeluk Sunni dan Syiah dalam acara-acara yang berkaitan dengan bantuan sosial dan meningkatkan taraf hidup umat Islam yang berkekurangan dalam ekonomi.Â