Sungguh, ingin kutamparnya satu-satu. Tapi karena satu darah katanya harus bersatu, jadi kuurungkan niatku. Aku selalu diam setiap terima hal busuk bak sampah serak tenan macam itu. Persetan dengan mereka yang semakin anggap aku tak tahu diri.
Isolasi mandiri kami jalani dengan sebagaimana mestinya. Kami terima banyak bantuan pula dari kerabat dan lainnya. "Terima kasih banyak" adalah kalimat yang sering aku ucapkan saat mengambil apapun yang tergantung rapi pada gerbang rumah kami.
Berjemur tetap kami lakukan. Pernah sekali aku dengar puan berbincang dengan seorang berhati indah yang menghampiri.
"Ibu, gak takut sama saya?"
"Ngapain harus takut, bu? Sama-sama manusia"
Terukir indah senyuman dari balik masker yang puan pakai selalu. Senang rasanya lihat ia tersenyum walau dari jauh dan cepat lalu.
Tuan sudah mulai bersemangat seperti sebagaimana layaknya tuan yang aku kenal dalam delapan belas tahun terakhir saat ini.
Aku sudah mulai miliki harap bahwa semua akan baik saja, sebaik yang kami harap. Aku juga sudah mulai tidak menangis penat setelah dua minggu akrab dengan mata sembab dan hidung tomat. Sahabat-sahabatku juga masih setia temani hingga saat ini padahal telah aku tumbalkan pada Juli lalu. Maaf ya delapan hidup dan mati ku di saval.
Sejak Juli lalu, aku, tuan, dan puan miliki tekad untuk tetap sama-sama, bagaimanapun kenyataannya. Masih dikasih hidup setelah lewati malam yang penuh sesak lengang dan tangis meriang adalah untung yang paling untung dari segala untung.
Untuk siapapun yang saat itu dengar rapalanku pada malam yang aku kira akan berakhir saat itu juga, terima kasih. Sungguh terima kasih. Seluruh sayang dari alam raya menyertai. Terima kasih, banyak-banyak.
--