Ismail Marzuki memang lekat dengan Bandung. Tempat menetap saat remaja, berkarya bersama grup keroncong Lief Java, pun sekarang. Masa awal periode revolusi nasional yang dimana ia jadikan Bandung sebagai tempat pengungsian, demi menghindari konflik neraka juga pendudukan tentara Inggris dan Netherland di Batavia.
"BANG MAING!! BANG MAING!!!!" tertangkap oleh indera pendengar, teriakan pemekik telinga berasal dari luar studio RRI di tengah Bandung Kota itu.
"Jang, tenang lah dulu. Ada apa?"
"Bang, Netherland bang! Mereka me-" ucapan salah pemuda itu tersela dengan dentuman keras dari rel kereta Viaduct-Cikudapateuh.
"BERLINDUNG!!!" sayup-sayup terdengar teriakan pun rintihan pemuda-pemuda Siliwangi di jalanan kota kembang itu.
Ismail masuk ke dalam studio. Berharap hal ini segera berakhir. Ia ambil secarik kertas, tak lupa pena pun tinta nya. Ia hampiri piano tua juga kertas partitur usang yang tentunya masih suci, bersih.
"Bandung juga kota ku. Semesta, tolong berbaik hati-lah"
Ia mulai merangkai kalimat-kalimat indah. Bersenandung seraya jari-jari manisnya menari diatas tuts piano. Menulis dengan rapi di kertas partitur, lalu meninjau tiap penulisan yang keliru.
Sementara di belahan Bandung Selatan
"PADAMKAN SEMUA ALIRAN LISTRIK!" seru Suhodo, pemimpin pemuda Siliwangi hingga serempak, padamlah aliran listrik di seluruh kota Bandung itu. Mereka merancang siasat di tengah tengah kegelapan kota.
"Nyalakan obor" obor menyala.cukup terang bagi menerangi peta lusuh kota Bandung yang digenggam Suhodo.