c. Akad/Sighat
Akad/sighat ini terdiri dari (a) serah (ijab) atau penawaran; (b) terima (qabul) atau penerimaan ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad. Qabul ialah jawaban pihak yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuannya. Yang dimaksud sighat adalah dengan cara bagaimana ijab dan qabul yang merupkan rukun-rukun akad itu dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan, isyarat, maupun perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[5]
B. Asas-asas atau prinsip-prinsip hukum dalam kontrak syariah
Dalam hukum kontrak syari'ah terdapat beberapa asas atau prinsip perjanjian yang menjadi dasar penegakan dan pelaksanaan suatu kontrak. Asas-asas perjanjian tersebut terbagi menjadi dua yaitu asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus. Adapun asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum adalah:
1. Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia merupakan ketentuan dari Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS. al-Hadid (57): 4 yang artinya "Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan". Kegiatan bermu'amalah merupakan salah satu bentuk perbuatan perjanjian, dan tentunya tidak akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Oleh karenanya manusia memiliki tanggung jawab akan hal tersebut, yaitu tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Sebagai konsekuensi dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT.[6]
2. Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah),
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya, "Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang".[7] Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya: "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia".[8] Kedua hadis di atas dapat disimpulkan bahwa asal dari segala sesuatu adalah boleh atau mubah untuk dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
3. Asas Keadilan
Disebutkan bahwasanya Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hadid (57): 25 yang artinya "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan". Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al A'raf (7): 29 yang artinya "Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil". Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.[9]
4. Asas Persamaan Atau Kesetaraan