Mohon tunggu...
Saifoel Hakim
Saifoel Hakim Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Orang biasa yang hidup biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ken Angrok - 6

24 Juli 2023   08:19 Diperbarui: 25 Juli 2023   22:18 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hancurnya Cita-cita

Dua minggu setelah berpisah dengan Bramantyo, Ken Endok tampak termenung sambil menangis di kamar mandi pagi ini setelah Gajah Para berangkat pergi. Bumi tiba-tiba seperti runtuh dan membenamkannya di kubangan lumpur hitam ketika dia lihat 2 garis di alat test kehamilan muncul perlahan. Tubuhnya lemas dan terduduk di lantai kamar mandi yang basah sambil matanya tak berkedip melihat test-pack di tangannya. Air matanya mengalir. Pikirannya berkecamuk. 

Dua-tiga hari yang lalu, dia merasakan pusing dan perut yang mual tetapi tidak bisa muntah. Sebelumnya, dia mendapati dirinya tidak mengalami menstruasi pada saat yang seharusnya. Dia pun ingin memastikan bahwa itu bukanlah pertanda hamil sehingga dia membeli test pack kehamilan. Sekarang ketika kenyataan itu tampak didepannya, dia pun kebingunan. Kepada siapa harus bicara? Bagaimana sakitnya Gajah Para? Bagaimana murkanya Bapak nanti jika tahu ini semua? Dalam tangis kesendiriannya itu, hanya wajah ibunyalah yang terlintas. Pelahan dia berdiri, dalam benaknya ingin segera lari kedalam pelukan Ibunya.

Keluar dari kamar mandi, Ken Endok segera berganti baju. Kemudian dia siapkan makan siang Gajah Para lalu keluar rumah. Dia menitipkan makan siang Gajah Para pada tetangganya yang juga biasa mengirim makanan untuk suaminya di sektor yang sama. "Tolong mbak, sampaikan ke Mas Gajah Para, saya harus ke rumah Ibu karena tadi ada pesan dari tetangga di Pangkur, katanya saya dipanggil Ibu. Mungkin sampai sore saya baru kembali," kata Ken Endok pada tetangganya berbohong. Mendadak dia tidak berani bertemu Gajah Para saat ini.

Ken Endok lalu naik angkot menuju rumah Ibunya di Pangkur. Sebetulnya, jarak rumah dia di Pangkur dari Campara tempat tinggalnya ini tidak terlalu jauh namun harus sedikit berkeliling karena hanya ada satu jembatan untuk menyeberangi sungai yang memisahkan Campara dan Pangkur. Rumah orang tua Ken Endok tepat di pinggir jalan yang memang dilalui anggkutan umum pedesaan. Namun bagian belakang rumahnya itu berada di pinggiran sungai, mungkin hanya berjarak sekitar 4 meter dari batas sungai.

Memasuki halaman rumahnya, Ken Endok melirik ke gudang tempat penyimpanan gamelan dan properti untuk pertunjukan Wayang Kulit. Gudang itu terlihat kosong dan tidak terlihat para punggawa ayahnya. Hal ini sedikit membuat lega Ken Endok, ayahnya pasti sedang tidak berada di rumah. Dia langsung berjalan ke belakang melalui samping rumah menuju dapur. Dia berpikir pasti ibunya sedang memasak pada jam-jam seperti ini.

"Eh..., kamu to Ndhuk? tumben ko tiba-tiba muncul. Ada kabar apa Ndhuk?" kata ibunya saat Ken Endok membuka pintu dapur dan langsung masuk. Ibunya pun kaget saat Ken Endok mendekat langsung menyungkur sujud dikaki ibunya sambil menangis. "Ada apa to Ndhuk? Ayo sini bangun...," kata ibunya sambil mengangkat Ken Endok dan memapahnya masuk ke kamar.

Ken Endok terus menangis dipangkuan Ibunya yang duduk dipinggir tempat tidur. Ibunya dengan sabar mengelus-elus rambutnya menunggu Ken Endok bisa menguasai emosi sedihnya. "Ibu, saya minta ampun... ampun Bu...," sesenggukan Ken Endok mencoba bicara.

"Iya Nduk... sabar, ada apa to? Gajah Para nyakiti kamu?" kata Ibunya penasaran.

"Bukan Bu..., saya yang sudah menyakiti dia." sahut Ken Endok sudah mulai tenang.

"Lho..., ko bisa? ada apa?"

"Aku... aku ham... hamil Bu..., tapi bukan dengan Mas Para..." Ken Endok tak berani menatap ibunya. Kepalanya semakin dalam ia benamkan dalam pangkuan Ibunya sambil masih sesenggukan menangis.

"Duh Gusti! Lha kok bisa begitu gimana to nduk? Terus Gajah Para mengusirmu?"

"Mas Para belum tahu..."

"Coba kamu tenang dulu. Cerita yang urut apa yang terjadi sebenernya."

Mendengar suara ibunya yang penuh kasih sayang itu, Ken Endok pun lalu mengangkat kepalanya dan duduk menempel di samping ibunya. Tangan ibunya tampak melingkari pundaknya seperti seorang pelindung. Tangan yang satu lagi menggemgam erat jemari Ken Endok. Perlakuan ibunya seperti mengalirkan rasa tenang yang dalam ke dalam hati yang gundah gulana. Lalu Ken Endok pun bercerita dari awal dia di suruh memasak oleh Tunggul Ametung, terjadinya hubungan dengan Bramantyo, hingga sampai tadi pagi dia melakukan test kehamilan sendiri.

Sambil masih mengusap-usap rambut anaknya dengan penuh kasih sayang, Ibunya bicara pelahan, "Kalo Gajah Para ndak tahu, ya kamukan bisa ngomong sama dia kalo kamu hamil anaknya to Nduk? Nggak usah bilang hubunganmu sama Bramantyo itu."

"Itulah Bu masalahnya, Mas Para pasti tahu kalo yang saya kandung bukanlah anaknya. Mas Para belum pernah melakukan itu sama aku..." Ken Endok menunduk dan air matanya menetes lagi.

"Gusti! Jadi Gajah Para belum sembuh dari sakitnya?"

"Belum Ibu...,"

"Waduh..., terus gimana ini Nduk. Bapakmu mesti ngamuk kalo tahu ini." Ibu Ken Endok tampak menunduk seperti merenungi apa yang harus dia lakukan untuk melindungi anak semata wayangnya ini. Dia berpikir bahwa bagaimana pun juga anak yang dikandung Ken Endok adalah cucunya walaupun didapat dari jalan yang salah sebab Gajah Para masih belum bisa dipastikan dapat memberikan cucu. Dia harus melindungi anak dan cucunya itu terutama dari murka Ayah Ken Endok, menjaga dari rasa malu sebab jika terbongkar di masyarakat pasti akan membuat hati Ken Endok terkoyak-koyak selamanya, dan bagian yang tersulit adalah bagaimana bisa mengajak kompromi Gajah Para yang tersakiti.

Sambil menggemgam jemari putrinya, Ibunya berkata, "Kamu sekarang pulanglah dulu, bawa masakan Ibu sebagai alasan buat Gajah Para bahwa aku membuat masakan khusus untuknya jadi kamu harus mengambilnya hari ini. Tetaplah berlaku seperti biasa, besok sore Ibu ke rumahmu saat Gajah Para sudah pulang kerja."

"Apa yang akan Ibu lakukan?" tanya Ken Endok.

"Ibu akan coba bicara dengan Gajah Para. Memohon dia untuk mengakui bahwa yang kamu kandung adalah anaknya."

"Apa itu mungkin Bu?" Ken Endok tidak yakin dengan usaha ibunya.

"Tidak ada jalan lain Nduk, hanya itu yang bisa kita coba. Ibu yakin bahwa cinta Gajah Para yang sangat besar padamu akan melunakkan hatinya."

"Tapi apakah itu adil buat Mas Para?" Ken Endok terisak lagi.

Ibunya menatap dalam-dalam pada wajah Ken Endok, "Biar Gusti yang Maha Kuasa saja nanti yang menentukan Nduk, hanya ini satu-satunya jalan."

***

Sore itu Ken Endok tampak sedang menyapu rumah, hatinya masih dipenuhi rasa bersalah pada suaminya. Dia sama sekali tidak berani menatap wajah Gajah Para ketika suaminya itu pulang. "Lhoh sudah sampai di rumah lagi to Dik? Ada kabar apa dari Ibu kok cuma sebentar di sana?," sapa Gajah Para saat memasuki rumah dan melihat Ken Endok sedang menyapu.

Masih sambil menunduk pura-pura menyapu Ken Endok menjawab, "Ibu baik Mas, tadi hanya di suruh ambil masakan. Katanya masak khusus buat Mas Para." suara Ken Endok aga bergetar.

"Wah Ibu kok sampek repot-repot masak khusus buat aku. Yo wis nanti buat makan malam aja, aku tak mandi dulu yo Dik." kata Gajah Para.

Sebetulnya Gajah Para sempat merasa agak aneh dengan istrinya, tidak biasanya Ken Endok bicara tanpa memandang dirinya. Suara Ken Endok juga terdengar seperti tercekat. Tapi Gajah Para belum mau memikirkannya, dia hanya menduga istrinya agak kurang enak badan. Sementara itu, tubuhnya kini terasa lebih letih sebab sudah seminggu ini Mandor memberikan perintah kerja yang lebih keras. Sejak Ndoro Bramantyo meninggalkan Campara, para mandor dari Tumapel Inc. sepertinya menerapkan cara kerja baru untuk meningkatkan kualitas pada saat panen nanti.

Seperti biasa, setelah mandi Gajah Para akan duduk di teras belakang rumah hingga senja benar-benar menjadi gelap. Ken Endok akan berada di sampingya menemani ngobrol segala hal. Segelas kopi, camilan sederhana khas pedesaan, asap rokok keretek, dan canda mereka akan membuat setiap senja menjadi sangat istimewa buat Gajah Para. Namun sore ini sepertinya berbeda, Gajah Para menunggu Ken Endok yang tidak kunjung muncul juga walaupun secangkir kopi dan sepiring camilan sudah tersedia. Tidak tahan dengan suasana yang berbeda itu, Gajah Para pun memanggil Ken Endok, "Diiik..., dimana kamu Dik?"

Terdengar suara seperti tidak bersemangat, "Iya Mas, sebentar saya ke situ..."

Tak lama terdengar suara langkah seperti di seret mendekati Gajah Para. "Kamu kenapa Dik? Sakit?," tanya Gajah Para pada istrinya setelah duduk di sampinya.

Ken Endok diam saja saja namun tangannya meraih jemari Gajah Para dan menggenggamnya erat-erat. Dia sandarkan kepalanya pada bahu Suaminya. Gajah Para masih tidak tahu dengan sikap istrinya ini. Dia hanya membalas gemgaman Ken Endok lebih erat. "Ada apa Dik? Bilang saja sama Mas."

"Mas...," kata Ken Endok pelan menahan kecamuk hatinya. "Mas tahukan ada uang segepok di lemari pakaian?"

"Oh itu, iyalah tahu. Kenapa? Ilang?"

"Bukan..., aku ingin uang itu buat Mas semua..."

"Lhoh...?," Gajah Para memotong, "Itukan uang yang dapet kamu to Dik...?, jadi ya itu milikmu. Gunakan saja buat kepentinganmu. Kalo kurang, ya nanti tak coba carikan tambahanya. Aku suamimu Dik, sementara kita belum punya keturunan, apa yang aku lakukan semua itu ya biar atimu selalu seneng. Saat ini aku ndak punya siapa-siapa lagi, cuma kamu Dik."

Mata Ken Endok berkaca-kaca menahan tangis. Dia tahu persis gimana watak dari Gajah Para. Betapa besarnya cinta dan sayang Gajah Para padanya. Jangankan harta yang diperoleh Ken Endok, upah buruh Gajah Para pun diserahkan seluruhnya pada Ken Endok tanpa meminta kembali satu sen pun. Sempat terpikir oleh Ken Endok, bagaimana jika uang segepok dari Bramantyo itu ia serahkan semua pada Gajah Para untuk menebus kesalahannya dan merahasiakan semua kenyataan. Tapi Ken Endok sadar, sakit hati Gajah Para pastilah tidak bisa dia beli dengan gunung emas sekalipun!

"Ada apa Dik, kok tiba-tiba punya niat seperti itu?" tanya Gajah Para membuyarkan lamunan Ken Endok.

"Enggak ada apa-apa Mas..."

"Oh iya Dik..., apa kamu sedang sakit to? Ko sepertinya lemes gitu?"

"Iya Mas, aga ndak enak badan..,"

Bramantyo berpikir mungkin Ken Endok takut mengatakan untuk tidak berlatih berhubungan dulu malam ini karena kurang enak badan. "Ya sudah kalo kamu sakit, istirahat saja dulu. Malam ini ndak usah latihan." kata Gajah Para sambil membelai rambut Ken Endok. Hati Ken Endok pun seperti tersayat-sayat mendengar ucapan dan perlakuan sayang Gajah Para itu. Dia tarik tangan Gajah Para dan menciumnya, air matanya menetes membasahi tangan Gajah Para. "Bener Dik, aku ndak apa-apa kok. Ndak usah nangis," kata Gajah Para merasakan hangat air mata Ken Endok.

"Maafin aku ya Mas..., ampuni aku..." kata Ken Dedes disela tangisnya. Sebetulnya dia sudah ingin sekali mengaku dan membuka semua namun mulutnya seolah terkunci.

"Mas, besok ada yang mau Ibu bicarakan. Ibu mau ke sini."

"Oh..., ya sudah besok aku tak pulang cepet. Ibu mau bicara soal apa to Dik? Kenapa bukan kita saja yang sowan kesana?"

"Katanya mau bicara di rumah kita saja..."

Gajah Para menduga Ibu mertuanya paling akan membicarakan soal cucu seperti biasanya. Ken Endok dan Gajah Para pun selalu bisa kompak memberi jawaban. "Yo wis, besok kita tunggu saja. Makan siangku besok tak bawa dari pagi saja," kata Gajah Para, lalu lanjutnya, "Sudah gelap ini Dik, ayo masuk siapin masakan kiriman ibu tadi," kata Gajah Para sambil mengajak Ken Endok berdiri.

***

Keesokan harinya ternyata Ibu Ken Endok sudah datang di siang hari menjelang sore. Gajah Para belum pulang dari kebun. Ibu dan putrinya itu tampak sedang bicara serius di ruang tamu. "Kamu siapkan barang-barangmu Nduk, siapa tahu nanti suamimu langsung mengusir kita," kata Ibu Ken Endok.

"iya Bu...," Ken Endok menjawab lirih. Dia sudah tidak dapat berpikir lagi. Dia merasa seperti menunggu datangnya sebuah petaka yang akan menimpanya sore ini.

"Eh..., sebentar Nduk, apa Ndoro Bramantyo itu tahu kalau kamu hamil anaknya?" tanya Ibu Ken Endok.

"Gimana dia bisa tahu Bu?, setelah dia pulang tidak ada kabar apa pun dari dia. Aku sendiri ndak berani tanya-tanya sama Pak Tunggul,"

"Piye ya Nduk? Sebetulnya dia harus tahu, biar tanggung jawab."

"Terakhir bertemu aku, dia hanya bilang kalau akan kembali ke sini lagi paling cepat pas musim tanam setelah panen raya."

"itu masih lama sekali, masih 10 bulan lagi. Kemungkinan jabang bayimu sudah lahir."

"iya Bu, itu juga kalu dia masih ingat sama aku. Kalaupun dia ingat sama aku, apa kita bisa menuntut sama orang besar seperti dia itu?"

Ibu Ken Endok terdiam. Dia sadar betapa jauhnya jarak sosial mereka dengan Bramantyo. Seperti langit dan bumi! Lalu alasan apa yang akan dia sampaikan ke suaminya nanti? Cepat atau lambat, suaminya pasti tahu kehamilan anaknya. Pada titik ini sepertinya Ibu dan Anak itu menghadapi jalan buntu jika Gajah Para menolak untuk berkorban demi Ken Endok.

Ken Endok dengan berat berdiri. Dia melangkah menuju kamarnya untuk berkemas. Air matanya terus menetes. Perlahan dia masukan pakaiannya satu persatu ke dalam koper. Dia berencana untuk meninggalkan segepok uang dari Bramantyo yang belum pernah dia buka dari bungkus plastiknya. Hanya itu yang bisa dia tinggalkan untuk Gajah Para. Hatinya semakin tertekan jika mengingat suaminya dulu dengan iklas menampung seluruh keluarganya di rumah ini. Gajah Para tidak peduli ketika orang-orang mencurigai bahwa pertolongan itu demi memikat ayah dan dirinya. Dia tahu persis, Gajah Para yang pendiam itu tidak melakukan itu. Justru dialah yang awalnya jatuh cinta pada Gajah Para.

Ken Endok cepat-cepat menghapus air matanya ketika mendengar pintu depan dibuka seseorang. Pasti dia Mas Para pikirnya. Inilah saat yang paling dia takutkan tiba. Ken Endok melangkah ke luar dari Kamar bersamaan dengan suara Gajah Para menyapa ibunya. "Oh Ibu sudah sampai," kata Gajah Para sambil mendekati ibu lalu meraih tangan ibunya dan menciumnya dengan takzim. "Sudah lama Bu? Maaf saya tadi harus menyelesaikan dulu perintah Pak Mandor," kata Gajah Para sambil tersenyum.

Ibu Ken Endok tegang menyambut Gajah Para. Dia tahu anak mantunya ini memang benar-benar orang yang baik, selalu ramah dan sangat sopan padanya. "Eh Para sini duduk dulu. Mana tadi Ken Endok...?" kata Ibu Ken Endok sambil mengok ke dalam berbarengan dengan Gajah Para. Mereka berdua melihat Ken Endok berjalan mendekat dengan mata yang terlihat sembab dan rambut yang kurang teratur.

"Dik, kamu sepertinya ko tambah sakit. Nanti ke dokter ya? aku antar...," kata Gajah Para tampak kuatir.

Tanpa menjawab Ken Endok langsung mendekati Gajah Para dang menyungkur sujud di kakinya. Persis seperti yang dia lakukan pada Ibunya kemarin. Sambil terisak menangis dia berkali-kali minta ampun dan maaf dari Gajah Para. Gajah Para kaget melihat sikap istrinya ini. "Ada apa Dik?," kata Gajah Para sambil mengangkat bahu Ken Endok dan mendudukannya di kursi.

"Mas..., aku... aku sudah tidak pantas jadi istrimu..." tangisnya semakin menjadi. Gajah Para menatap Ibu Ken Endok kebingungan seperti bertanya ada apa semua ini. Ibu Ken Endok berdiri dan menghampiri Ken Endok lalu memeluknya. "Sudah Nduk... sudah... semua yang sudah terjadi itu takdir," kata Ibu Ken Endok menenangkan.

Gajah Para duduk di kursi depan Ken Endok. Dia kebingungan dengan apa yang terjadi tapi harus menunggu Ken Endok bisa menguasai luapan emosi sedihnya.

"Nak Para...," kata Ibu Ken Endok pelan di antara isak tangis Ken Endok. Dia melanjutkan dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangisya, "Ibu memintakan maaf dan ampunan Nak Para pada Ken Endok..." lalu kepalanya tertunduk.

"Ada apa to Bu sebenarnya ini?" tanya Gajah Para sambil mencoba berpikir keras apa yang salah dengan Ken Endok.

Tiba-tiba Ken Endok menjawab masih dalam isak tangisnya, "Maafkab aku Mas. Aku..., aku..., aku hamil Mas..."

Seperti disambar petir siang bolong Gajah Para terkejut dan hanya menatap Ken Endok tanpa bisa berkata-kata. Inilah kejutan ke dua kalinya yang dialami Gajah Para. Kejutan pertamanya saat mendapat kabar Ayah dan Ibunya meninggal bersama dalam kecelakaan dulu. Kini kata-kata Ken Endok barusan seperti menyengatnya tiba-tiba.

Sesaat kemudian, sambil menatap tak percaya pada Ken Endok, Gajah Para berkata, "Kamu..., kamu... hamil dik? Kok bisa?"

"Nak Para..., semua itu perbuatan Ndoro Bramantyo," Kata Ibu Ken Endok.

"Ndoro Bramantyo... Ndoro Bramantyo...," bisik Gajah Para masih terus menatap tak percaya pada Ken Endok. Gajah Para melanjutkan, "Jadi..., jadi waktu kamu masak itu? Tiga hari kamu bolak-balik ke sana dan... dan uang gepokan itu?"

"I... iya mas...," sambil terus terisak Ken Endok melepaskan pelukan ibunya dan mengyungkur lagi di kaki Gajah Para. "maafin aku mas..., maafin aku..." kata Ken Endok masih menyungkur sujud di kaki Gajah Para. Kali ini Gaja Para tidak tergerak untuk mengangkat Ken Endok. Ibu Ken Endok berdiri lalu jongkok memegang bahu Ken Endok mengajak kembali duduk di kursi di depan Gajah Para.

Gajah Para mengambil nafas dalam-dalam dan berusaha keras menenangkan dirinya. "Kapan dia melakukan Dik? Apakah setiap hari saat kamu ke sana?"

"i.. iya mas..."

"Tolong jawab jujur Dik, apa dia memaksamu?"

Ken Endok tidak menjawab. Suasana seolah menjadi hening, hanya terdengar suara isak tangis Ken Endok.

"Apa dia memaksamu Dik" sekali lagi Gajah Para bertanya.

Ken Endok sepertinya tidak mampu menjawab. Hanya tangisnya terdengar semakin menjadi di dada Ibunya.

"Baiklah kalo kamu tidak mau menjawab. Aku bisa memahami," kata Gajah Para. Dia merasakan tubuhnya lemas lalu menyandarkan punggungnya. Kepalanya menengadah dan matanya berkaca-kaca menatap kosong langit-langit rumahnya. Dia mencoba faham bahwa dirinya belum sembuh dari impotensi yang di deritanya. Tapi bukankah Ken Endok tahu bahwa dia tidak pernah berhenti untuk mencoba? Lalu dia melanjutkan, "Lantas maumu apa sekarang?"

"Nak Para...," ibu Ken Endok menjawab pelan, "Nak Para pasti tahu sifat ayah Ken Endok dan juga pergunjingan orang-orang desa kita ini jika semuanya terbongkar."

"Iya Bu, lalu apa yang Ibu minta dari saya?" jawab Gajah Para tanpa melihat Ibu Ken Endok.

"sebagai Ibu Ken Endok, biarkan saya sujud memohon pada Nak Para."

"Tidak usah Bu, katakan saja..." Gajah Para masih tetap memandang langit-langit tanpa menoleh sedikit pun pada Ibu Ken Endok.

"Nak Para, Ibu tahu betapa kecewa dan sakitnya Nak Para. Tapi anak Ken Endok yang dikandungnya ini tidak punya salah apa pun. Ayah Ken Endok pasti akan menyuruh menggugurkan jika tahu hal yang sebenarnya. Ibu mohon Nak Para mau mengakui anak dalam kandungan ini adalah anak kandung kalian berdua."

Gajah Para menarik nafas panjang. Lalu dia menjawab masih tanpa memandag Ibu Ken Endok, "Tidak bisa Bu. Saya sudah tidak bisa tinggal dalam satu rumah dengan Ken Endok." terdengar dingin dan datar suara Gajah Para.

Sesaat keheningan kembali hadir. Isak tangis Ken Endok masih terdengar. Ibu Ken Endok tertunduk mendengar jawaban Gajah Para.

"Baiklah mas...," tiba-tiba Ken Endok membuka suara sambil terisak. "Aku mengaku bersalah dan tidak pantas lagi tinggal di sini. Aku hanya seorang wanita yang lemah, aku tidak ingin status perkawinanku menggantung. Jadi aku mohon Mas Para menceraikan aku. Sebagai tanda permintaan maaf dan mengganti segala kebaikan Mas Para pada keluargaku, ambi saja seluruh uangku itu."

"Nduk..., nanti gimana bapakmu?" kata Ibu Ken Endok kaget mendengar kata-kata anaknya itu.

"Biarlah Bu..., tidak adil buat Mas Para harus terpaksa menerima anak ini."

"Ken Endok..," Gajah Para bersuara tanpa menengok sedikitpun pada kedua perempuan di depannya dan baru kali ini sejak menikah, Ken Endok mendengar Gajah Para memanggilnya dengan nama, bukan dengan sebutan "Dik".

Gajah Para melanjutkan, "Apa kamu pikir sakit hatiku ini bisa kamu tukar dengan uang? Bahkan uang yang kamu berikan itu adalah hasil dari pengkhianatanmu padaku. Bagaimana aku bisa menyimpan uang yang menjijikan itu?"

"Mas Para..., bukan begitu maksudku...," tangis Ken Endok pun pecah lagi.

"Aku tidak tahu lagi harus bicara apa Ken Endok," Kata Gajah Para dengan suara yang berat. "Sebaiknya kalian berdua pergi saja dari rumah ini. Ambil seluruh barang dan hartamu semua dan jangan sisakan apa pun. Aku akan mengurus perceraian kita." Gajah Para berdiri dan menatap tajam pada kedua perepuan itu. "Ken Endok, aku akan pergi sekarang. Taruh kunci rumah di tempat biasa. Aku harap malam nanti saat aku kembali kesini, Kamu dan seluruh hartamu sudah tidak ada lagi di sini!" Gajah Para berbalik dan melangkah ke pintu depan tanpa menanti jawaban dari Ken Endok atau Ibunya. Lalu terdengar suara "Braaak!", pintu depan di banting Gajah Para dari luar.

Ken Endok memeluk ibunya dan melepaskan tangisan lagi di dada Ibunya. Ibunya berbisik pada Ken Endok, "Sabar Nduk..., Nak Para masih butuh menenangkan diri dulu dari kabar yang sangat mengejutkan ini. Tiga - empat hari ke depan kita coba bicara lagi. Kebetulan ayahmu masih dua minggu lagi pulannya."

Ken Endok masih terisak. Betapa menyesalnya dia. Hari ini, seluruh harapan dan cita-citanya hancur berantakan. Rencana untuk hidup bahagia dengan Gajah Para sambil membesarkan usaha kuliner kini mustahil terwujud.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun