"Aku sudah makan kok Dik, buat besok saja sarapan. Sudah sana kamu mandi-mandi dulu terus tidur. Mestinya capek seharian masak terus," kata Gajah Para tanpa curiga sedikit pun.
"Iya Mas, sama ini tadi, saya diparingi (diberi) Ndoro Bramantyo ndak tahu isinya apa...," kata Ken Endok menaruh bungkusan coklat di meja sambil mencoba membukanya.
Mereka berdua pun kaget ketika bungkusan itu terbuka, ada enam bundel uang tertumpuk rapih. Setiap bundelnya masih ada tali kertas dari Bank yang bertulikan, "Rp 100.000.000". "Wah!, ini banyak banget Dik...?!" kata Gajah Para sambil bolak-balik melihat tumpukan uang dan Ken Endok. "Apa jangan-jangan Ndoro Bramantyo salah ngasih bungkusanya Dik?" lanjut Gajah Para.
Ken Endok masih tertegun memandangi tumpukan uang itu. Ingatanya kembali pada hari-hari di mana dia bertemu Bramantyo, tidak hanya memasak tapi juga saling melayani di atas ranjang putih bersih itu. "Mungkin nggak Mas, aku inget dia berkali-kali melihat bungkusan itu sebelum diberikan padaku." Jawab Ken Endok yang lalu menambahkan kebohongan, "Pak Tunggul juga melihat itu saat Ndoro Bram menyerahkan padaku."
"Ya sudah..., disimpen sana yang hati-hati. Baik banget ya Ndoro Bramantyo itu. Wong cuma masak kok segini banyak kasi bayarannya."
Ken Endok menatap suaminya, rasa bersalah terbersit dalam hatinya. Betapa lugu dan tulus suaminya ini, tak sedikit pun menaruh curiga bahkan memuji Bramantyo. "Ya sudah aku tak mandi dulu Mas. Mau tambah kopinya lagi ndak? Aku bikinin dulu kalo mau."
"Ndak usah Dik, aku juga mau tidur. Sudah malam ini, besok takut kesiangan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H