Perpisahan
Bramantyo nampak tidur telentang, lengan tangan kanannya menjadi bantal kepala Ken Endok. Jemari tangan kanan Bramantyo itu memainkan lembut rambut halus Ken Endok. Tangan Ken Endok melingkar erat di dada Bramantyo.
Ini adalah hari ke 3 Ken Endok bertugas menjadi juru masak Bramantyo. Namun, setiap selesai makan siang, keduanya seperti sebuah magnet yang saling menarik. Tanpa perlu lagi adegan pijat memijat, keduanya selalu saling melumat dan bertempur hebat di atas ranjang putih bersih itu. Janji Bramantyo untuk tidak menyentuh Ken Endok pun tidak bisa terpenuhi. Bahkan, gairah Ken Endok pada tubuh Bramantyo seolah menuntut agar janji itu dilanggar. Jika awalnya Ken Endok terlena dan menyangka sedang berhubungan dengan Gajah Para, hari berikutnya dia sangat sadar telah melakukan itu dengan Bramantyo!
"Mas Bram..., beneran besok jadi pulang?" tanya Ken Endok sambil mengelus-elus dada bidang Bramatyo. Kini dia tidak lagi memanggil 'Ndoro" pada Bramantyo.
"Pengin rasanya aku tetap di sini di temani Kamu, Ken..." jawab Bramantyo, lalu lanjutnya, "Tapi aku harus menyelesaikan segala tanggungjawabku di Kediri. Banyak yang masih harus aku selesaikan di Daha Corporation"
"Iya Mas, saya tahu itu..."
"Aku sebetulnya juga ingin mengajakmu, tapi sepertinya itu tidak mungkin karena statusmu sebagai istri Gajah Para. Selain itu, satu desa ini pasti akan geger."
"Jadi apakah ini akhir dari hubungan kita Mas?"
"Aku harap tidak, namun aku baru bisa kembali ke sini saat musim tanam. Aku juga tidak tahu, bagaimana jika aku merindukanmu?" kata Bramantyo sambil mengecup kening Ken Endok.
Mata Ken Endok terpejam. Rasanya begitu cepat 3 hari berlalu. Hari-hari yang selalu dipenuhi dengan pergumulan birahi yang hebat. Dia tidak tahu harus bagaimana. Dia melakukan semua itu dengan kesadaran penuh, namun apakah ini cinta? atau karena dia tidak pernah bisa memdapatkan rasa nikmat itu dari Gajah Para?
"Saya ini hanya 'Wong Ndeso'," kata Ken Endok masih sambil terpejam, "Apa ya mungkin 'orang besar' seperti Mas Bram merindukan saya," lanjutnya.
"Seandainya saja kamu belum menjadi istri Gajah Para, aku pasti akan membawamu ke Kediri. Ken..., apakah kamu bisa meninggalkan Gajah Para?"
Ken Endok diam tidak bisa menjawab. Dia sadar betapa sulitnya jalan untuk berpisah dengan Gajah Para. Seandainya pun Gajah Para rela, ayahnya pasti akan marah besar. Orang-orang desa ini pun pasti akan sibuk membicarakan dia. Katakanlah dia mampu menghadapi itu semua lalu dia ikut Bramantyo, apakah akan membuat masa depannya lebih baik? Saat ini dia tidak tahu menahu tentang Bramantyo yang sesungguhnya.
"Aku tahu Ken, aku paham kenapa kamu tidak bisa menjawab. Berpisah dengan Gajah Para akan menempatkanmu pada situasi yang sangat sulit."
"Iya Mas..., sepertinya yang terbaik adalah melupakan semua apa yang sudah kita lakukan ini walaupun itu juga sangat sulit."
Kini giliran Bramantyo yang diam tidak menjawab tetapi tangannya memegang dagu Ken Endok dan menariknya menghadap persis kemukanya. Mereka saling menatap. Bramantyo mendekatkan mulutnya ditelinga Ken Endok dan berbisik, "Aku ingin kamu tidak melupakan ini..." Lalu Keduanya pun kembali tenggelam dalam lautan biarahi.
***
Jam hampir menunjukkan pukul 10 malam. Bramantyo dan Ken Endok yang sudah mengenakan pakaian lengkap itu tampak berdiri berpelukan erat di ruang tamu Paviliun. "Ken...," kata Bramantyo sambil pelahan melepaskan pelukan dan menetap dalam-dalam Ken Endok. "Sungguh, aku tidak ingin malam ini berakhir. Tapi, aku juga tidak ingin kamu mendapat kesulitan dengan orang-orang di sekitarmu."
"Iya Mas..," kata Ken Endok lirih.
"Ini ada sesuatu untukmu, jangan engkau buka di sini. Bukalah di rumah saja." kata Bramantyo sambil menyerahkan sebuah bungkusan dalam amplop coklat.
Ken Endok menerima bungkusan itu, dia merasakan seperti sebuah kotak yang lumayan berat, "Apa ini mas?" tanya Ken Endok sambil memperhatikan bungkusan itu.
"Nanti kamu juga akan tahu sendiri. Aku juga sudah menyuruh Pak Tunggul untuk menunjuk Gajah Para sebagai Mandor di sektor 8 mulai bulan depan. Tapi jangan kamu yang kasih tahu Gajah Para, biar Pak Tunggul saja agar Gajah Para tidak berpikir macam-macam tentang kita."
"Iya Mas Bram..."
"Dan satu lagi, aku akan selalu memantaumu dari jauh. Apa pun yang kamu lakukan pasti aku tahu. Jadi, janganlah kamu sekali-kali menyerahkan dirimu pada laki-laki lain."
"Tapi Mas, bagaimana dengan Mas Para?"
"Seperti ceritamu, Gajah Para aku pikir masih butuh waktu yang cukup lama untuk pulih. Bukannya aku berharap dia tidak bisa pulih, justru aku ingin agar dia segera dapat melakukan kewajibannya sebagai suami memberi nafkah batin. Aku hanya kuatir, kamu jatuh pada laki-laki lain lagi sebelum Gajah Para benar-banar sembuh."
"Iya Mas, saya janji itu tidak akan terjadi"
"Sekarang pulanglah..., Gajah Para mungkin sudah kuatir kamu belum pulang."
"Iya Mas, mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi...," kata Ken Endok sambil menatap Bramantyo.
Ken Endok melangkah mendekati pintu keluar, membukanya, lalu menoleh lagi menatap Bramantyo. Mereka saling bertatapan sejenak sebelum Ken Endok melangkah keluar dan menutup pintu paviliun itu.
***
Gajah Para terlihat duduk di ruang tamu ketika Ken Endok masuk rumah. "Kok sampek malem to Dik?" kata Gajah Para saat Ken Endok menghampiri dan mencium tangannya.
"Iya Mas, besok Ndoro Bramantyo pulang. Dia minta saya masak yang banyak untuk di bawa buat oleh-oleh katanya," jawab Ken Endok sambil duduk di sebelah Gajah Para. Lalu lanjutnya, "Mas sudah makan malam? ini saya bawa lauk sedikit buat kita."
"Aku sudah makan kok Dik, buat besok saja sarapan. Sudah sana kamu mandi-mandi dulu terus tidur. Mestinya capek seharian masak terus," kata Gajah Para tanpa curiga sedikit pun.
"Iya Mas, sama ini tadi, saya diparingi (diberi) Ndoro Bramantyo ndak tahu isinya apa...," kata Ken Endok menaruh bungkusan coklat di meja sambil mencoba membukanya.
Mereka berdua pun kaget ketika bungkusan itu terbuka, ada enam bundel uang tertumpuk rapih. Setiap bundelnya masih ada tali kertas dari Bank yang bertulikan, "Rp 100.000.000". "Wah!, ini banyak banget Dik...?!" kata Gajah Para sambil bolak-balik melihat tumpukan uang dan Ken Endok. "Apa jangan-jangan Ndoro Bramantyo salah ngasih bungkusanya Dik?" lanjut Gajah Para.
Ken Endok masih tertegun memandangi tumpukan uang itu. Ingatanya kembali pada hari-hari di mana dia bertemu Bramantyo, tidak hanya memasak tapi juga saling melayani di atas ranjang putih bersih itu. "Mungkin nggak Mas, aku inget dia berkali-kali melihat bungkusan itu sebelum diberikan padaku." Jawab Ken Endok yang lalu menambahkan kebohongan, "Pak Tunggul juga melihat itu saat Ndoro Bram menyerahkan padaku."
"Ya sudah..., disimpen sana yang hati-hati. Baik banget ya Ndoro Bramantyo itu. Wong cuma masak kok segini banyak kasi bayarannya."
Ken Endok menatap suaminya, rasa bersalah terbersit dalam hatinya. Betapa lugu dan tulus suaminya ini, tak sedikit pun menaruh curiga bahkan memuji Bramantyo. "Ya sudah aku tak mandi dulu Mas. Mau tambah kopinya lagi ndak? Aku bikinin dulu kalo mau."
"Ndak usah Dik, aku juga mau tidur. Sudah malam ini, besok takut kesiangan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H