Melihat wajah tampan dan berwibawa itu, Ken Endok seperti melihat seorang yang bijak dan kebapaan. Dia tidak menyangka kalo ternyata seperti ini wajah Ndoro Bramantyo itu.
"Kamu sudah keluarga?" tanya Bram seperti membuyarkan kekaguman Ken Endok memandangi wajah Bramantyo.
"Nggih Ndoro, sudah..."
"Oh, berapa anakmu?"
"Belum Ndoro, saya baru menikah 2 bulan yang lalu."
"Wah..., manten anyar to kamu itu..." kata Bramantyo ramah.
"Nggih Ndoro..."
"Lha terus kamu sekarang tinggal sama suami atau masih ikut Bapak Ibu?"
"Saya tinggal sama Mas Gajah Para suami saya. Bapak sama ibu tinggal di Pangkur, Desa diseberang sungai itu." Ken Endok mulai lancar bicara. Dia merasa berada dengan orang yang sangat kebapaan dan mengayomi sehingga mengalir begitu saja cerita tentang awal bertemu hingga pernikahanya dengan Gajah Para. Tetapi Ken Endok tentu tidak bercerita soal kejantanan Gajah Para yang terganggu.
Bramantyo mendengar cerita itu sambil menatap wajah Ken Endok yang muda dan cantik. Andai saja dia tinggal di kota, pikir Bramantyo, pasti sudah jadi model atau artis. Wajah cantiknya yang alami tanpa polesan dan didukung bentuk tubuhnya yang proporsional membuat Bramantyo berdesir dadanya. Bramanatyo tidak fokus lagi dengan apa yang diceritakan Ken Endok, karena sebagian besar juga pernah dia dengar dari Tunggul Ametung. Dia lebih banyak menikmati kecantikan alami di depan matanya itu.
Melihat kecantikan Ken Endok, gairah kejantanan Bramantyo sebetulnya mulai memberontak menuntut segera dilampiaskan. Namun akal sehatnya masih mengekangnya. Bramantyo yang sangat berpengalaman menghadapi ribuan wanita, faham bahwa Ken Endok bukanlah wanita yang bisa diselesiakan hanya dengan beberapa lembaran ratusan ribu. Ken Endok butuh pendekatan spesial sebelum dia jatuhkan dalam pelukannya.