Mohon tunggu...
Sahirah Irawan
Sahirah Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sahirah interested in business, politics, law, human rights, education and arts.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi Bunga Matahari

7 November 2024   15:12 Diperbarui: 7 November 2024   15:13 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 Pagi ku indah kali ini

Setelah sekian purnama Aku tak dengar kabar mu lagi

Kau ramai dengan dunia mu begitu pun Aku

Dewasa memang seramai itu di kepala

Kita berjumpa lagi di perkakas zaman

Ramai mu membuat tumbang diri mu sendiri

Kau bilang tak pedih tapi mata mu manai

Aku cakap mata mu lara tapi kau bilang semua akan rampung

Aku pun percaya bahwa kau lebih kuat dari Mahabharata

Masanya tiba, kau roboh tubuh mu terbaring tenang

Nafas mu dalam seperti Laut Jawa atau bahkan Palung Mariana

Aku berpikir mungkin kau masih asyik dalam mimpi

Aku terus meneduhkan diri, tapi semuanya fiktif

Sedari terjebak dalam mimpi kau tak sempat beri kabar

Subuh itu langit masih tidur, matahari masih mengumpat di balik awan

Aku berteriak kegirangan seperti burung kakak tua

Bergembira serta tertawa, menari seperti kupu-kupu

Sayap ku dibelai serta dimanja angin

Aku bergerak melambai-lambai, hati ku teduh nian lembut menyentuh sanubari

Kau cakap kau baik saja

Kau minta Aku untuk tenang dalam doa

Kau bilang doakan, agar kita bisa bertatap kembali

Apakah kau tuli? Aku mendoakan mu dalam sujud setiap hari

Kita berbincang, berdansa riang dalam surat kabar

Sore itu langit ku mendung, kali ini lebih berat ada petir tak ada pelangi

Aku tak dengar kabar mu lagi

Aku bertanya pada kucing yang cantik

Apakah kau rehat sejenak dari surat-surat ku itu?

Apakah kau di sana sudah pulih kemudian melupakan ku dengan seribu keramaian mu itu kawan?

Kucing tersenyum dan berkata kau sudah pulang

Kau pulang dengan damai dan tentram

Aku tidak yakin dengan surat kabar itu

Aku pikir kucing itu bodoh

Kau, bukan kah kau manusia kuat nan hebat, mana mungkin dikalahkan dengan rasa sakit

Aku masih duduk di sini

Tidak menangis

Diam, menikmati suara-suara yang ada di sekitar ku sambil membaca surat terakhir mu itu

Ku buka lagi satu-satu, helai-helainya masih ku ingat

Aku berkabung

Rasanya seperti tidak pandai menangis

Rasanya sakit sekali tapi Aku harus tetap berjalan

Kau tau? wajah ku pucat semuanya berantakan

Aku tak haus, tenggorokan ku kering dan sesak

Seperti dipaksa bernafas berkali-kali

Aku panggil kau lagi, tak ada kau jawab kawan

Aku bertanya pada Tuhan untuk yang ke seratus kali

Tuhan apakah kawan ku pulang?

Tuhan tak jawab apapun

Semuanya membingungkan sekali

Aku teriak lebih keras lagi, kau tak dengar

Aku panggil lebih merdu lagi, kau tak hadir

Dimana kau itu? Aku terus mencari

Aku rasa, Aku sudah gila

Aku rasa, kau lupa janji mu itu

Kau bilang akan terus menemani ku sampai sepuh sampai kita beranak pinak bersama

Sampai rambut kita seputih gading dimakan usia

Kau janji kita akan bersama, sampai mimpi mu dan mimpi ku itu jadi besar, ya kenyataan

Aku pergi menuju Tuhan 

Tuhan apa ini? Mengapa langit ku mendung sekali? Mengapa kau ambil pelangi indah, penyejuk hati penghuni bumi

Aku menemukan mu dalam sujud 

Kau sudah berputih tulang

Kau sudah berpulang

Senyum dan melambai ke arah ku, Aku tak bisa memeluk mu di sana

Aku lupa semuanya akan pulang, termasuk Aku

Aku penghuni bumi, Aku pun akan pulang menyusul mu di seberang sana

Aku sakit di sini, kau tak nampak lagi

Aku senyum palsu pun, tak ada batang hidung mu lagi

Rasanya seperti Aku harus hidup dengan sebelah kaki

Aku pincang, sembuh ku sendirian

Aku sendirian

Kau tinggalkan surat suara terakhir, itu saja yang bisa ku ulang berkali-kali

Aku tak akan lupa suara mu itu sampai sepuh nanti

Jika panjang umur ku syukur, jika tidak syukur Aku bisa menemui mu di sana

Hidup hanya perlu banyak bersyukur

Mereka memerintahkan kepada ku "Ikhlas kan, semua akan pergi, ajal tak ada di kalender bumi"

Aku paham betul Tuhan Maha Besar

Aku paham betul

Mereka hatinya tuli, minim empati

Aku ini berkabung, tak usah kau paksa Aku untuk cepat tertawa geli

Biar waktu yang jawab sendiri

Kau tak paham, jangan menghakimi ku

Urus saja pikiran mu sendiri

Aku sungkem pada Tuhan, hendaknya Tuhan jadikan kau bidadari terindah di surga firdaus

Aku berdoa agar kita boleh berjumpa di kehidupan sesudah ini

Aku memohon ampun Tuhan Maha Baik, hanya saja Aku tak cukup otak untuk paham kematian

Sampai jumpa bunga matahari

Bunga nan selalu disukai manusia

Bunga nan indah istimewa

Bunga nan kerap Aku banggakan ke semua manusia 

Aku akan lestari sebagai dandelion di sini

Kau di sana abadi

Bunga matahari yang permai, rupawan, adiwarna nan ayu di surga Tuhan

Jangan lupakan Aku, doa ku selalu menyertai mu.

Jakarta,6/11/2024. SahirahIr.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun