Terdengar seorang anak muda berbicara pada seorang lelaki. Lelaki itu kemudian menjawabnya. "Iya. Nanti aku belikan online." Mereka berdua memasuki pintu dan kemudian berhenti tepat di samping kursi tamu.
"Siapa dia Ma?"
Sawitri mengusap air matanya. "Dia.. "
Nyoto kemudian berdiri. Dia dengan tegar memotong ucapan Sawitri. "Aku kakak kelas Mamamu." Nyoto memperhatikan foto-foto yang ada di dinding. Tetapi tidak satupun fotonya terpampang di sana.
"Perkenalkan aku Badrul."
"Di mana Faisal?"
"Dia tadi  mampir masjid untuk sholat Isya'."
"Ya sudah, Aku ingin pamit dulu. Salam kenal Rul, dan ... " Nyoto memandangi suami Sawitri.
"Rohman."
Nyoto keluar rumahnya dengan tanpa tujuan. Dia ingin mengambil jalan kekerasan tetapi dia tidak ingin merusak kebahagiaan anaknya. Mungkin Badrul lebih baik tidak mengenalinya, katimbang mengetahui bahwa dirinya memiliki ayah seorang pembunuh, pikirnya. Dia menekan rasa emosi dan kesedihannya. Dia berusaha keras mengingat ilmu-ilmu pengendalian emosi yang diajarkan oleh guru spiritualnya saat masih di penjara. Dia mencoba mengalirkan semua perasaannya ke luar tubuhnya dan membuka semua labirin yang menjebak pikirannya. Dia berjalan dengan tanpa menoleh kebelakang.
Dalam perjalanannya, dia ingat bagaimana semua umpatan terucap sebelum ludah-ludah mengenai mukanya. Bagaimana batu-batu melayang sebelum akhirnya mengenai mukanya. Semuanya terasa begitu cepat saat itu. Setidaknya lebih lambat dari beberapa hari sebelumnya, saat dia baru saja membakar empat orang perampok yang hendak memperkosa istrinya. Jauh di dalam hatinya dia terus saja mengulang, " Setidaknya aku pernah mencoba berjuang untuk menjaga amanahku sebagai seorang suami."