Nyoto kebingungan mengetahui ada seorang anak perempuan yang memanggil istrinya ibu di rumah yang dibangun di tanah warisan keluarganya. Tetapi kebingungannya segera berakhir setelah memastikan kemiripan wajah istrinya dengan anak perempuan itu.
"Masuk ke kamar Sana!" Perintah istrinya kepada anak perempuan itu.
"Siapa dia Wit?" Nyoto mulai marah. Dia berdiri dari tempat duduknya sambil mengangkat piringnya. Dia ingin melemparkan piringnya ke tanah sebagai pelampiasan emosinya.
"Dia anakku dengan suami baruku." Sawitri, istrinya menangis ketakutan.
" Kamu punya suami lagi? Di mana anak-anakku?"
Sawitri mengangguk. "Suamiku sedang menjemputnya."
Nyoto berjalan keluar dari tempat makan. Dia duduk di kursi tamu dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Piringnya dia taruh di atas meja tamu. Dia lanjutkan makan. "Siapa nama suamimu?" Ucapnya tegas.
Sawitri duduk di sampingnya. Dia menangis ketakutan. "Maafkan aku To. Aku tidak bermaksud mengkhianatimu."
"Jika saja dulu mereka berempat tidak bermaksud memperkosamu, mungkin aku akan membiarkan mereka mengambil seluruh hartaku tanpa pertumpahan darah." Nyoto meneteskan air mata. "Tetapi kamu membalasnya dengan seperti ini." Dia melanjutkan makannya.
"Aku sangat menderita saat kamu di penjara. Aku tidak bisa membesarkan anak kita sendiri." Sawitri terus menangis. Tampak rasa penyesalan yang sangat besar di mukanya.
"Pa, aku besok belikan handphone baru ya?"