"Aku gak mau merepotkanmu. Kamu bukannya dulu pernah menikah dengan pejabat itu."
"Owh itu sudah cerai. Sekarang aku menikah dengan sopir truck. Tetapi menginap di rumahku juga tidak merepotkan. Aku sudah lama tidak bertemu denganmu. Jujur Aku bersedih saat mengetahui dirimu tertangkap. Padahal dulu kamu orang yang paling pintar bersembunyi."
"Sudahlah. Ini takdirku." Tutupnya untuk menghindari bahasan yang lebih lanjut mengenai tragedi yang telah membuatnya kehilangan kebebasan selama bertahun-tahun itu.
Perbincangan mereka berlanjut sampai sore. Mereka berdua kembali mengenang masa-masa remajanya. Mereka memang cukup dekat sebelumnya. Meskipun hubungannya hanya sebatas teman. Drasmilah orang yang dahulu memperkenalkan Nyoto dengan istrinya sekarang.
" Sekarang sudah sore, aku ingin melanjutkan perjalananku." Tegas Nyoto mengakhiri nostalgianya.
"Nanti kamu harus main ke sini! Aku masih belum puas berbincang denganmu."
Perjalanan Nyoto berlanjut dengan diantarkan oleh suami Drasmi. Dia diantar menggunakan sepeda motor. Mereka melewati jalanan yang dahulu sangat akrab dengannya. Nyoto tidak sempat berbicara dengan suami Drasmi. Dia sibuk mengenang masa-masa kebebasannya saat melewati jalanan itu. Mereka berhenti di masjid desa. Nyoto ingin menunaikan sembahyang Magrib di sana.
"Terima kasih tumpangannya." Ujarnya saat berpisah dengan suami Drasmi.
Dia sholat di baris kedua dari depan. Dia duduk di dekat jendela kaca dengan ukiran nama Tuhan berwarna hijau. Ketika memasuki rokaat kedua, tiba-tiba terdengar suara keras meneriakinya dan diikuti dengan triakan lainnya.
"Hei, pembunuh! Jangan lari kau!"
Dia tetap melanjutkan sembahyangnya sampai selesai. Setelah selesai salam, dia kemudian menengok kebelakang. Namun semua tampak biasa saja. Semua jamaah berzdikir dengan khusuk menghadap kiblat.