Nyoto membelai rambutnya yang baru saja tumbuh. Sensasi kasar dan kelembutan terasa kuat menjalar menembus labirin perasaannya. Memang sejak berada dalam kamar kecil berjeruji itu, dia telah berhasil mengetahui sekat-sekat perasaannya. Dia telah mampu memahami perubahan kecil dari perasaan yang satu dekade lalu telah memenjarakannya.
Tubuh kurusnya tampak bagaikan sebuah hantu sawah dan bayangannya memanjang memasuki selokan yang berjarak sekitar dua meter dari tempatnya berdiri. Saat itu, pukul setengah tiga sore, ketika dirinya terpaksa harus memutuskan untuk keluar sendiri tanpa menunggu jemputan dari keluarganya. Sebenarnya sejak pagi dia telah menunggu istrinya yang selama ini rutin menjenguknya tiap dua minggu sekali.
Pada minggu lalu saat istrinya berkunjung, dia telah memberi kabar tentang kebebasannya. Saat keduanya sedang duduk berhadapan di ruang berkunjung. "Aku minggu depan akan di bebaskan. Aku ingin kamu datang dengan membawa kedua anak kita." Â
Istrinya mengangguk dan kemudian menyodorkan sebungkus rokok Marlboro kesukaannya. "Aku akan datang. Aku juga akan masak besar untuk menyambut kepulanganmu."
Nyoto sama sekali tidak menduga kalau mereka tidak di saat hari kebebasannya. Momen yang paling di nantinya selama dua minggu terakhir. Dia kawatir kalau anaknya Badrul sakit. Badrul dulu terkena penyakit paru-paru basah saat kecil. Dia sering sakit karenanya.
Sambil memperhatikan perubahan sekitar, Nyoto menyebrangi jalanan yang cukup ramai oleh pesepeda motor. Dia kembali menunggu di warung kopi kecil bertenda biru di bawah pohon mahoni yang berdiri tegak di tepi lapangan. Dia masih menaruh harapan agar istri atau anaknya datang menjemputnya.
Penjualnya adalah seorang perempuan setengah baya. Dia mengenakan sebuah baju daster warna merah dengan bunga-bunga warna hitam dan merah muda.
" Baru keluar Pak? Minum apa Pak?" Tanyanya pelan.
"Kopi saja."
" Sebelumnya masuk sana kenapa Pak?" Tanya perempuan itu sopan dengan bahasa kromo inggil.