Ada sebuah satire yang kalimatnya begini: "Nggak puasa kok ikut-ikutan merayakan Idul Fitri!".
Satire ini tentu saja bukan dimaksudkan untuk melarang seorang Muslim yang tidak berpuasa atau puasanya bolong-bolong di bulan Ramadhan untuk ikut merayakan Idul Fitri. Tapi lebih bersifat sindiran etis sekaligus sebagai ilustrasi yang menegaskan kesyahduan perayaan Idul Fitri.
Sebab, sensasi spiritual Idul Fitri hanya mungkin dirasakan-diresapi secara maksimal oleh orang yang telah berpuasa sebulan penuh Ramadhan. Bobot sensasinya kira-kira setara dengan sensasi kenikmatan-kebahagiaan orang berpuasa menjelang akan berbuka puasa.
Yang pasti, Idul Fitri memiliki banyak keunikan yang menciptakan daya pikat yang sulit dihindari, baik secara tradisi-kultural maupun hukum-hukum keagamaan.
Pada hari Idul Fitri, nilai-nilai keagamaan melebur dengan sentuhan kultural (perayaan), yang akhirnya menciptakan senyawa antara kebeningan spiritual dan kenyamanan fisik; semua mengkristal dan menjelma menjadi wujud tunggal. Dari situlah kemudian tercipta daya pikatnya, yang sedemikian menariknya, sehingga semua orang hanya bisa dan terpaksa mengikuti alunan ritmenya. Bahkan musuh paling bebuyutan sekalipun takkan pernah berpikir untuk sekedar coba-coba membendungnya.
Risalah ini akan mengulas beberapa hal-hal yang layak sekedar diketahui, atau perlu dan bahkan wajib diketahui, agar dapat merayakan Idul Fitri secara maksimal.
*-*-*
Idul Fitri sebagai hari raya
Dalam bahasa Arab, kata id (ain-ya'-dal) bermakna hari raya, yang umumnya dirayakan setiap tahun. Arti dasarnya adalah kembali atau berulang. Karena itu, hari kelahiran disebut idul-milad; hari kemerdekaan disebut idul-wathani atau idul-qaumi.
Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik yang berkata bahwa di zaman Jahiliyah, masyarakat Madinah merayakan dua hari raya, di mana mereka bersenang-bersenang. Setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah, beliau bersabda: saat ini kalian juga sudah punya dua hari raya, Allah swt menggantinya dengan dua hari raya yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
*-*-*
Makan-minum di pagi hari berhenti sebulan penuh
Dalam setahun kalander Hijriyah (lunar system), selama 11 bulan di antaranya, umat Muslim terbiasa makan-minum di pagi hari. Ketika memasuki Ramadhan, kebiasaan sarapan pagi itu waktunya digeser lebih awal menjadi makan sahur pada dini hari, sebelum fajar terbit.
Maka ketika 1 Syawal tiba, kebiasaan makan-minum di pagi hari yang ditinggalkan selama sebulan penuh, kembali dilakukan pada hari Raya Idul Fitri. Pergeseran waktu itu tentu akan menciptakan sensasi yang luar biasa.
Dan sekali lagi, sensasi spiritual Idul Fitri hanya mungkin dirasakan secara maksimal oleh orang yang telah berpuasa sebulan penuh Ramadhan.
Mungkin itulah sebabnya sehingga Rasulullah saw berkata: "Disunatkan untuk makan-minum sekedarnya sebelum keluar rumah untuk pergi shalat Idul Fitri".
*-*-*
Berbusana baru-dan-bagus di hari raya Idul Fitri
Sejak dulu hingga kini, tradisi mengenakan pakaian baru di hari lebaran Idul Fitri sudah dilakoni berbagai komunitas Muslim di Indonesia.
Bahkan bagi sebagian besar anak-anak di kampung-kampung, berbaju baru di hari lebaran Idul Fitri adalah sebuah "keharusan", untuk tidak menyebutnya sebagai suatu "kewajiban".
Awalnya saya termasuk orang berpikir bahwa berbaju baru di hari lebaran ini sekedar tradisi atau perilaku latah yang tercipta secara kultural, dari generasi ke generasi, yang lebih dipicu oleh adanya faktor suasana perayaan secara umum. Tapi ternyata kebiasaan itu memiliki acuan keagamaan dari Rasulullah saw.
Ada riwayat dari jalur Jabir yang menyebutkan: "Rasulullah saw memiliki hullah (pakaian bagus dan baru), yang dikenakan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha serta hari Jumat."
" - -- "
Kalau mencari terjemahan kata hullah ke bahasa Inggris, umumnya diterjemahkan garment atau suit. Dan kita tahu, garment sering dimaknai kain penutup badan. Sementara suit berarti pakaian setelan, yang biasanya dirujuk ke jas (tentu saja Rasulullah tidak memakai jas).
Suit dan/atau setelah tersebut dijelaskan melalui riwayat lain dari Ali bin Abu Thalib yang berkata: Rasulullah saw mengenakan burdu habiratin pada setiap hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).
" - - ."
Kata majemuk burdu habiratin atau burdu habaratin di hadits ini merujuk ke suatu jenis pakaian berupa sehelai kain, yang ketika itu populer diproduksi di Yaman, dan dikenakan dengan cara melilitkannya ke tubuh.
Merayakan kemenangan memang semestinya memang dengan pakaian terbagus, meski tak selalu berarti harus baru. Tapi jika mampu, belilah (dan/atau kalau sudah punya) kenakanlah baju baru yang bagus di saat merayakan hari raya Idul Fitri.
Namun harus dibedakan dengan mereka yang sepanjang tahun terus-terus berbaju baru, bagus dan mahal pula. Untuk komunitas tertentu, baju baru-dan-bagus bukan semata baru dalam artian waktu (baru beli, bukan juga hanya faktor bagus (dari kualitas bahannya), tapi juga baru dalam pengertian model baru atau desain baru.
Ilustrasi: jika membeli baju koko dan dikenakan pada Idul Fitri tahun lalu (2023), lalu mencari baju koko yang model dan motifnya sama dan di toko yang sama pula pada Idul Fitri 2024, kemungkinan besar sudah ketemu model baju koko yang Anda inginkan. Karena toko-toko di pasar-pasar modern dan juga di pasar tradisional, selalu berganti-ganti mode-desain, bahkan dalam hitungan minggu. Bukan lagi hitungan bulan, apalagi tahun.
*-*-*
Kembali ke fitrah
Secara substantif, setiap Muslim yang sudah melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh, dan di ujung Ramadhan membayar zakat fitrah, diasumsikan dirinya telah kembali ke kondisi fitrah (suci). Dan inilah sesungguhnya inti kemenangan secara spiritual.
Pengertian dasar kata "fitrah" sering diilustrasikan seperti kondisi ketika seseorang pertama kali menghirup udara bumi saat dilahirkan dari rahim ibunya: putih bersih dan suci dari segala noda. Karena itu, kembali ke fitrah kadang diungkapkan dengan kalimat: "kembali ke kondisi seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya."
Secara bahasa, kata majemuk Idul-Fitri (kembali suci atau kembali ke fitrah) lebih bermakna spiritual. Sebab "kesucian yang kembali" itu tidak kasat mata, tak bisa diukur secara matematis.
Dan secara umum, kembali ke fitrah dapat dimaknai dalam dua hal:
Pertama, pada tataran hablun minallah (hubungan vertikal dengan Sang Pencipta), setiap orang yang beridulfitri membuka lembaran baru dalam menata komunikasinya dengan Allah dalam beribadah. Sebuah riwayat menegaskan, beridul-fitri setelah sebulan berpuasa akan mengembalikan seorang Muslim pada posisi seperti bayi yang baru lahir. Yang ke kondisi yang digambarkan seperti tak ada masa lalu.
Kedua, pada tataran hablun minannas (hubungan horizontal dan spiritual dalam pergaulan keseharian antar sesama manusia) berada pada posisi kosong-kosong. Artinya, menghapus (dalam artian memaafkan dan dimaafkan) semua jejak dosa dan kesalahan masa lalu, dan masing-masing memulai dari nol lagi, dalam posisi kosong-kosong.
Jika dua variabel tersebut terpenuhi secara maksimal, itulah makna ungkapan minal-'aidin wal faizin (kembali suci dalam pengertian posisi kosong-kosong dan menjadi pemenang).
*-*-*
Fitrah dan Idul Fitri
Ada ungkapan yang bombastis dan menggairahkan begini: Allah swt konon akan "merasa malu" jika tidak memasukkan ke surga setiap bayi yang meninggal sebelum balig.
Tentu saja ini pernyataan ilustratif yang ekstrem. Sebab Allah swt berhak mutlak memasukkan siapa pun ke surga atau neraka.
Namun bayi yang belum balig, apalagi yang meninggal di dalam kandungan atau sesaat setelah dilahirkan, adalah gambaran riil tentang fitrah (kesucian).
Karena bayi yang belum balig adalah sosok yang mewakili kesucian dari segala jenis dosa. Karena belum memasuki usia taklif (menjadi obyek untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan agama). Karena itu, secara rasional, Allah swt tidak memiliki alasan untuk menggiringnya dan menyiksanya di neraka. Makanya muncul ungkapan yang bombastis tadi: Allah swt akan "merasa malu" atau setidaknya akan merasa kurang nyaman jika memasukkan ke neraka bayi yang belum balig.
Itulah sebabnya, bayi yang baru dilahirkan ibunya, dalam teks-teks Sunnah yang lain, sering dijadikan perumpamaan tentang kesucian dari dosa atau pengampunan absolut dari segala dosa.
Sebuah hadits Nabi mengatakan, "Orang yang hajinya mabrur, akan kembali (bersih dari dosa) seperti ketika dilahirkan oleh ibunya".
Hadits lain mengatakan, "Dua mukmin yang saling bersalaman (bermaafan) karena Allah, dosa-dosa keduanya akan beterbangan, hingga posisi keduanya akan kembali seperti ketika dilahirkan ibunya".
Dan mereka yang menunaikan puasa ramadhan yang dilandasi keimanan dan penuh harap, sehabis Ramadhan, posisi spiritualnya akan kembali seperti saat dilahirkan ibunya.
Kembali ke fitrah. Dan itulah inti Idul Fitri, dan setiap Muslim diarahkan untuk bersikap optimis merayakan kemenangan telah meraih nikmat dan karunia kesucian.
*-*-*
Momentum kedua orang tua
Idul Fitri juga merupakan momentum keluarga inti yang menjadi ritual tahunan. Berbahagialah mereka yang kedua atau salah satu dari orang tuanya masih hidup di saat hari raya Idul Fitri. Sebab dengan begitu, bisa memohon maaf secara langsung kepada kedua atau salah satu dari orang tua.
Bandingkan misalnya dengan seorang Muslim/Muslimah yang sudah ditinggal mati oleh kedua atau salah satu dari orang tuanya. Paling berkesempatan berziarah ke makam orang tua.
Bobot kesyahduan akan sangat berbeda jika merayakan Idul Fitri ketika orang tua masih hidup dibanding dengan seandainya sudah mendahului ke alam baka.
Sebagian suku di Indonesia bahkan memiliki tradisi sungkeman pada momentum Idul Fitri. Praktiknya, anak kepada ayah-bundanya, adik kepada kakak-kakaknya, yang muda kepada yang lebih tua, akan memohon maaf dalam posisi mencium tangan sambil meminta nasehat kehidupan.
*-*-*
Momentum perenungan
Setiap hari raya yang dirayakan sebagai ritual tahunan juga dapat dijadikan momentum perenungan: mengenang masa lalu sembari menatap masa depan dan berupaya berbuat sesuatu yang lebih baik.
Imam Syafii pernah menggubah sebait syair yang sangat menyentuh:
... Â
"Wahai hari id, dengan apa engkau datang kali ini?... Dengan sesuatu seperti tahun-tahun sebelumnya atau engkau datang sesuatu yang baru."
Renungan kelas tinggi seperti syair Imam Syafii ini mengirim pesan betapa penting merenungkan kemajuan dan keutamaan yang diperoleh setiap Muslim/Muslimah dari tahun ke tahun, baik pada level individu atau kelompok atau bahkan tingkat bangsa sebuah negara.
*-*-*
Silaturahmi
Praktek silaturahmi, dengan segala cara variannya, merupakan salah satu kegiatan paling utama di hari Idul Fitri.
Silaturahim antar keluarga inti, antar keluarga level kedua dan seterusnya; antar kolega kerja, antar mitra kerja; antar atasan dan bawahan di tempat kerja. Bahkan kadang juga antar orang yang tidak kenal.
Silaturahmi itu dilakukan dalam beragam cara: saling bersalam-salaman; saling mengirim ucapan selamat Idul Fitri; saling berkunjung ke rumah; mengadakan reuni kecil-kecilan dan terbatas untuk komunitas tertentu (misalnya, sesama alumni dari satu almamater pendidikan).
Dan seperti disebutkan sebelumnya, sebaiknya atau bahkan seharusnya, momentum silaturahim Idul Fitri berujung pada posisi kosong-kosong antar individu: si Y memaafkan kesalahan si-X, si-Z memaafkan kesalahan di Si-Y dan si-X dan begitu seterusnya. Intinya, skor interaksi sosial antar individu menjadi kosong-kosong (0:0).
Namun ada sebuah catatan yang perlu diperhatikan: masing-masing dari kita tidak harus menanti tibanya lebaran Idul fitri untuk memohon maaf dan/atau memaafkan kesalahan orang lain. Sebab setiap saat, setiap orang berpeluang melakukan perbuatan dan mengucapkan perkataan yang menurut orang lain adalah kesalahan besar. Karena itu, kalau tiada hari yang tanpa kesalahan, mestinya tiada hari juga yang tanpa maaf-memaafkan.
Namun tetap harus waspada: ada suatu hal yang biasanya melekat pada sesuatu yang bersifat massal dan massif, termasuk soal maaf-memaafkan secara massal dan masif di hari lebaran Idul Fitri: tingkah perorangan sering tak terpantau, tak nampak karena melebur dan mengalir di tengah arus yang berlangsung ramai.
Di tengah keramaian bahkan kebisingan itulah, maaf-dan-memaafkan berpeluang kehilangan makna esensinya, dan akhirnya hanya bersifat basa-basi. Sekedar menggugurkan tuntutan tradisi. Ungkapan dan kalimat maaf dan senyum yang menyertainya kehilangan sentuhan yang menggugah.
Meminta maaf adalah perilaku orang biasa, manusia rata-rata. Dan orang yang tulus memaafkan setiap orang yang meminta maaf adalah manusia golongan khusus, yang di atas rata-rata. Dan ada golongan yang lebih khusus lagi: orang yang sudah memaafkan bahkan sebelum dimintai permohonan maaf.
*-*-*
Memaknai Takbir di Hari Raya Idul Fitri
Pada akhirnya, sentuhan spiritual Idul Fitri akan tiba pada momen pamungkas: menyadari dan memposisikan diri berada pada titik terendah, dan pada saat yang sama, mengakui dan meresapi bahwa di atas sana, ada zat yang Maha Menentukan segala hal.
Maka sejak berbuka puasa di hari terakhir bulan Ramadhan (bisa 29 hari atau 30 hari), umat dianjurkan untuk mengumandangkan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Allahu Akbar: bersujud menihilkan diri pada titik nadir, sembari mengakui dan meyakini adanya Zat yang Maha Besar dan menentukan segalanya.
Allahu Akbar: menghambakan diri hanya kepada-Nya. Bahwa di hadapan-Nya, tak ada yang setara dengan-Nya. Semua kecil bahkan tak bernilai.
Allahu Akbar: merenungkan dan menyelami bahwa segala nikmat yang diraih merlalui perantaraan makhluk lain, terjadi semata karena perkenan-Nya.
Allahu Akbar: menyadari bahwa segala takdir dan nasib adalah manifestasi dan/atau semata karena ke-Maha Besaran-Nya.
Allahu Akbar: mengakui bahwa setiap hamba tak berhak untuk angkuh atau menyombongkan setiap keunggulan lahir-batinnya.
Allahu Akbar: menegasikan nilai diri, ras dan kelompok. Sebagai makhluk, derajat semua orang dan benda setara di hadapan-Nya,
Allahu Akbar: jika Allah Maha Pengampun, maka sesungguhnya tidak akan pernah ada kesalahan antar sesama manusia yang tidak terampunkan.
Allahu Akbar: bahwa tak ada tujuan yang lebih mulia selain meraih Ridha-Nya. Dan Ridha-Nya akan menjinakkan semua jenis kebencian makhluk.
Ibnu Hazm dalam bukunya "Al-Muhalla" (Jilid-3, hlm 304) menulis: wajib hukumnya mengucapkan takbir di malam Idul Fitri.
... ...
"...Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya..." (QS Al-Baqarah, ayat 185).
Ayat ini berbicara bulan Ramadhan, dan di akhir Allah swt memerintahkan agar umat Islam menggenapkan bilangan hari puasa, dan memerintahkan bertakbir mengagungkan Allah swt.
Menurut pendapat jumhur ulama, gema takbir Idul Fitri dapat dikumandangkan sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadhan (hari ke-29 ataupun hari ke-30).
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bertakbir sejak keluar rumah menuju lapangan (atau tempat shalat Idul Fitri), dan beliau terus bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai shalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 5621).
*-*-*
Idul Fitri dan Doa Malaikat
Ada sebuah riwayat dari Rasulullah saw, yang menggambarkan suasana batin di hari raya Idul Fitri, ketika para malaikat berdoa. Rasulullah saw bersabda: "Pada hari Idul Fitri, para malaikat berdiri di pinggir-pinggir jalan, seraya berseru: wahai umat Islam, pergilah menghadap Allah yang memerintahkan perbuatan baik dan memberikan pahala besar. Allah telah memerintahkan kalian berpuasa (Ramadhan), dan kalian telah berpuasa (di bulan Ramadhan), dan kalian telah mentaati perintah Allah swt, maka hari ini, raihlah piala (kemenangan) kalian. Ketika umat Islam selesai menunaikan shalat Idul Fitri, muncul seruan dari langit: pulanglah ke rumah kalian (masing-masing) dalam keadaan telah mendapatkan petunjuk, sebab Allah telah mengampuni dosa-dosa kalian. Dan di langit, hari Idul Fitri itu dinamai hari (meraih) kemenangan."
*-*-*
Idul Fitri dan Fenomena MudikÂ
Tak banyak bangsa di dunia yang memiliki tradisi mudik ke kampung halaman secara massal di hari lebaran. Jika pun ada, mungkin tidak seheboh dan tidak semasif tradisi mudik di Indonesia.
Khusus di Pulau Jawa, dan dalam keadaan tertentu juga di Sumatera, mudik menjelang Idul Fitri telah menjadi ritual tahunan, yang melibatkan dan menyibukkan hampir seluruh sumber daya nasional, khususnya otoritas atau aparatus negara yang berkaitan dengan transportasi. Dan ciri utamanya adalah bermacet-macet ria di jalan-jalan jalur mudik.
Sebagai perbandingan, jika fenomena mudik pada hari Idul Fitri ini dikaitkan dengan perayaan keagamaan di kalangan umat Kristiani, mungkin setara dengan perayaan Thanksgiving di beberapa negara.
Di kalangan masyarakat Amerika Serikat, misalnya, tradisi perayaan Thanksgiving pada hari Kamis keempat setiap bulan Nopember, juga dirayakan dengan cara makan bersama keluarga, dengan sajian utama: ayam kalkun, plus lima menu pendamping. Dan tentu saja ditandai dengan upaya setiap anggota keluarga untuk dapat merayakannya bersama anggota keluarga inti: kakek-nenek, ayah-ibu, suami-istri, kakak-adik, orangtua -anak dan jajaran ponakan
Pada tahun 2017, dalam satu kunjungan kerja, saya berada di Washington DC., Amerika Serikat dan satu keluarga mengundang saya dan rombongan ke rumahnya untuk makan bersama dalam rangka peringatan Thanksgiving.
Konon sejarahnya, Thanksgiving adalah semacam tradisi pesta syukuran, yang dirayakan dengan menggelar acara makan bersama paska panen. Karena itu, hampir semua menu makanan Thanksgiving terbuat dari sayuran atau buah yang mengalami puncak musim panen di bulan November.
Dalam perkembangannya, Thanksgiving menjadi tradisi khas keluarga Amerika yang dirayakan oleh semua kelas sosial, golongan, ras dan agama. Orang Amerika yang beragama Kristen, Yahudi, atau Muslim juga akan ikut merayakan Thanksgiving.
Dan ciri khas utama perayaan Thanksgiving adalah semua anggota keluarga inti akan berusaha hadir untuk berkumpul, makan bersama, berbagi cerita dan pengalaman. Kira-kira mirip, meski tidak seheboh dengan hari mudik lebaran Idul Fitri di Indonesia. Secara umum, Thanksgiving juga boleh disebut family gathering.
*-*-*
Membayar zakat fitrah
Untuk menyempurnakan amal Ramadhan, setiap Muslim yang memiliki kelebihan rezeki kebutuhan pokok pada malam dan Hari Raya Idul Fitri, wajib membayar zakat fitrah.
Menurut Sunnah Nabi, batas akhir pembayaran zakat fitrah adalah sampai sebelum shalat sunnat Idul Fitri.
Menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014, SK Ketua BAZNAS No. 10 Tahun 2024, setiap Muslim yang memiliki kelebihan rezeki atau kebutuhan pokok untuk malam dan Hari Raya Idul Fitri. Besarannya: beras atau makanan pokok seberat 2,5 kg atau 3,5 liter per jiwa.
Sementara itu, SK Ketua BAZNAS No. 10 Tahun 2024 tentang Nilai Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, menetapkan bahwa zakat fitrah boleh dikonversi dibayarkan dengan uang tunai sebesar Rp45.000,- jiwa.
Meskipun pembayaran zakat dapat dilakukan dengan uang tunai berdasarkan fatwa banyak ulama, tetapi sebagian warga Indonesia, termasuk saya, masih tetap memilih membayar zakat fitrah dengan beras
*-*-*
Tuntunan Sunnah Rasulullah saw di pagi hari Idul Fitri
- Secara hukum, semua ritual keagamaan di hari Idul Fitri adalah sunnat muakkad. Bukan wajib.
- Dianjurkan agar makan-minum sekedarnya dulu sebelum keluar rumah dan pergi shalat Idul Fitri.
- Melintasi jalur jalan yang berbeda saat pergi dan pulang dari/ke rumah.
- Pelaksanaan shalat Idul Fitri dua rakat, dengan urutan: shalat dulu kemudian khotbah (berbeda dengan hari Jumat: khotbah dulu kemudian shalat). Tidak meninggalkan masjid atau lapangan sebelum khotbah Idul Fitri selesai.
- Rangkaian lanjutan perayaan Idul Fitri, menurut tuntunan Rasulullah saw adalah menunaikan puasa sunnat Syawwal selama 6 hari. Kalau bisa dilakukan secara berturut-turut tanpa jeda mulai hari kedua Syawwal dan seterusnya. Tapi bisa juga ditunaikan secara terpisah. Yang penting ke-6 puasa itu dilakukan pada bulan Syawwal.
Selamat menyambut dan merayakan Idul Fitri 2024/ 1445H, maaf lahir batin.
Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 31 Maret 2024/ 21 Ramadhan 1445H
-------------------
Catatan: substansi utama Risalah tentang Idul Fitri ini pernah dimuat pada beberapa artikel yang saya upload di Kompasiana:
https://www.kompasiana.com/sabdullah/609c1b5c8ede481ae351e4a2/memaknai-takbir-di-hari-idul-fitri
https://www.kompasiana.com/sabdullah/626d6a203794d118a9639456/fitrah
https://www.kompasiana.com/sabdullah/5a0de049934608685322bfc3/merayakan-thanskgiving-di-amerika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H