Adapun pemilih tipologi sosiologis, sangat kecil kemungkinan menjadi swing-voter. Dan makna sosiologis ini berkaitan dengan wilayah domisili, etnis, agama, organisasi tertentu.
Sebagai gambaran, pemilih nasionalis loyalis PDIP di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, sangat kecil kemungkinan berubah pilihan ke kandidat yang dipersepsikan tidak nasionalis atau kurang nasionalis. Demikian pula pemilih loyalis PKS di Jakarta, Bandung, dan Banten, sangat kecil kemugkinan memilih kandidat yang dipersepsikan nasionalis-sekuler.
Faktor ketiga, pemilih yang belum menentukan pilihan
Berbeda denga swing-voter, kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) memang belum menentukan pilihan saat survei dilaksanakan. Mereka umumnya adalah kelas menengah ke atas, berpendidkan tinggi, dan hidup di wilayah perkotaan. Jumlahnya relatif sedikit. Secara nasional, berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) kelompok pemilih rasional berjumlah sekitar 13,7 persen (atau sekitar 27 juta pemilih) dari total pemilih nasional yang berjumlah 204 juta.
Faktor keempat, blunder
Dinamika pertarungan pada kontestasi politik elektoral biasanya dianalogikan dengan permainan pingpong: satu Paslon bisa mendapatkan poin, dari kesalahan paslon lain.
Dan salah satu bentuk kesalahan Paslon, yang bisa menguntungkan Paslon pesaing adalah pernyataan blunder tentang sebuah kasus atau isu.
Ilustrasi: jika selama periode kampanye ada kandidat mengalami silap lidah atau tanpa sadar mengatakan, misalnya, "Kalau saya suka pasangan sesama jenis, memang kenapa?"
Jika pernyataan kecenderungan seksual seperti ini disampaikan oleh politisi pada kampanye Pemilu di Belanda atau Belgia, sebagian besar pemilih mungkin tidak akan mempersoalkannya. Sebab di Belanda dan Belgia, pemilih tidak lagi terlalu mempersoalkan kecenderungan seksual sesama jenis. Bahkan di dua negara tersebut, sudah ada norma hukum yang berlaku nasional yang membolehkan perkawinan sesama jenis.
Namun jika pernyataan itu ("Kalau saya suka pasangan sesama jenis, memang kenapa?") dituturkan secara sengaja ataupun silah lidah oleh seorang kandidat dalam Pemilu di Indonesia, persoalannya bisa menjadi sangat serius. Bisa dipastikan akan menjadi viral di Medsos, pengucapnya akan di-bully habis-habisan, bahkan mungkin kasusnya akan berlanjut ke ranah hukum.
Dan masih segar dalam ingatan, pernyataan blunder seorang kandidat Gubernur DKI yang konon menjadi penyebab utama kekalahannya dalam Pilkada DKI 2017.